Hadis
Tentang Hak Hadanah dalam
Perceraian
(Kritik
Sanad dan Matan)
by
Diana Fitri Umami
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan sebuah ikatan suci antara dua
individu yaitu laki-laki dan perempuan, tujuan dari sebuah pernikahan adalah untuk
membentuk sebuah keluarga yang sakinah (bahagia) dengan penuh kasih
sayang. Akan tetapi dalam mencapai hal itu,sering kali dihadapkan dengan
problematika kehidupan rumah tangga yang memicu adanya konflik antara suami dan
istri. Pernikahan bukanlah sebuah ikatan yang abadi, karena dalam kondisi
tertentu memang memaksa mereka untuk melakukan perceraian. Perceraian merupakan
jalan pintas yang diambil oleh pasangan pernikahan ketika mereka sudah merasa
tidak mampu mempertahankan hubungan mereka. Akibatnya anaklah yang akan menjadi
korban dari perceraian tersebut, seperti tergangguan psikologis anak yang
berimbas terhadap sikap dan perilakunya. Selain itu, dalam berbagai kasus hak
asuh terhadap masih sering diperdebatkan, khususnya anak yang masih balita.
Dalam Islam hak asuh anak disebut “hadanah”,
yang berasal dari kata “al-hidn” yang berarti rusuk. Artinya seornag ibu
yang mengasuh atau menggendong anaknya sering meletakkannya pada sebelah
rusuknya atau dalam pangkuan di sebelah rusuknya. Sedangkan menurut Ahli Fiqh, hadanah
berarti memelihara anak dari segala macam bahaya yang mungkin menimpanya,
menjaga kesehatan jasmani dan rohaninya, menjaga makanan dan kebersihannya,
mengusahakan pendidikannya hingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi
kehidupan sebagai seorang muslim.[1]
Terkait dengan hak asuh anak akibat perceraian,
terdapat hadis Nabi saw yang menjelaskan bahwa seorang ibu lebih berhak atas
anaknya sebelum ia menikah lagi.
حَدَّثَنَا
مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ السُّلَمِىُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنْ
أَبِى عَمْرٍو - يَعْنِى الأَوْزَاعِىَّ - حَدَّثَنِى عَمْرُو بْنُ
شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ
امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِى هَذَا كَانَ بَطْنِى لَهُ
وِعَاءً وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِى لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ
طَلَّقَنِى وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّى فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- « أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِى »
"Telah
menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As Sulami, telah menceritakan kepada
kami Al Walid dari Abu 'Amr Al Auza'i, telah menceritakan kepadaku 'Amr bin
Syu'aib, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah bin 'Amr bahwa seorang
wanita berkata; wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah
tempatnya, dan putting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah
rumahnya, sedangkan ayahnya telah menceraikannya dan ingin merampasnya dariku.
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya; engkau
lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah."
Hal ini dikarenakan
wanita itu lebih baik melaksanakan pengasuhannya dibandingkan laki-laki.
Disamping itu wanita pada umumnya lebih sering dirumah, sedangkan laki-laki
lebih sering melaksanakan pekerjaan di luar rumah. Selain itu, seorang ibu
merupakan sosok yang yang halus, pemurah, penyantun dan penyayang.[2]
Namun dalam melihat realitas saat ini, wanita tidak hanya berperan dalam rumah
tangga. Banyak kaum wanita pada zaman sekarang yang bekerja seperti halnya
lelaki, bahkan sebagian mereka banyak yang menjadi tulang punggung keluarga.
Sehingga waktu mereka untuk keluarga dan anaknya hanya sedikit. Disamping itu,
akhir-akhir ini juga marak terjadi kasus kekerasan seorang ibu terhadap
anaknya. Komisi Perlindungan Anak (KPI) mendapatkan laporan bahwa dari 702 kasus
kekerasan dibidang keluarga dan pengasuhan alternatife, 55 persen adalah kasus
kekerasan yang dilakukan seorang ibu terhadap anaknya. Berdasarkan catatan
KPAI, faktor penyebab pelanggaran hak anak dalam keluarga yang tertinggi adalah
akses bertemu orang tua yang, kemudian disusul perebutan hak asuh, nafkah, dan
penculikan anak.[3]
Bahkan kasus kekerasan ibu terhadap anak menjadi salah satu kasus yang menonjol
di tahun 2016. Faktor perceraian turut memicu kekerasan terhadap anak. [4]
keluarga yang berantakan menimbulkan dampak buruk pada anak.
Melihat problematika diatas, apakah hadis yang
mengatakan bahwa seorang ibu lebih berhak atas hak asuh anak masih relevan
untuk saat ini? Oleh karena itu, untuk menjawab berbagai masalah diatas perlu
adanya kajian kembali mengenai hadis tersebut, agar dapat dipahami dan dapat
menjadi solusi dalam mengatasi problem-problem mengenai hadanah dalam
perceraian. Dalam kajian hadis, untuk memahami sebuah hadis perlu dilakukan
kajian terhadap matan hadis (kritik sanad) untuk mengetahui kualitas hadis,
sehingga hadis tersebut dapat dijadikan hujjah. Kemudian, untuk memahami
kandungan hadis, maka dilakukan kajian terhadap matan hadis (kritik matan).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
otentisitas hadis tentang hak hadanah dalam perceraian?
2. Bagaimana
pemahaman dan kontekstualisasi hadis tentang hak hadanah dalam
perceraian?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk
mengetahui otentisitas hadis tentang hak hadanah dalam perceraian.
2. Untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan kontekstualisasi hadis hak hadanah
dalam perceraian.
D. Signifikansi Penelitian
1. Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan gambaran dalam menetapkan hak hadanah
dalam percerai.
2. Penelitian
ini juga diharapkan memberi khazanah keilmuan dalam studi islam, terutama dalam
kajian hadis.
E. Telaah Pustaka
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan
karena sumber datanya berupa buku-buku atau kitab-kitab. Sumber primer dari
penelitian ini adalah kitab-kitab hadis primer dan kitab syarah hadis,
sedangkan sumber sekundernya adalah buku-buku maupun karya tulis yang membahas tentang hak asuh anak dalam
perceraian.
Skripsi yang berjudul “Hak Asuh Anak Akibat
Perceraian (Studi Komparatif Hukum Islam dan Hukum Positif)”[5],
skripsi tersebut menjelaskan bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif
terhadap hak asuh anak dalam perceraian.
Skripsi yang berjudul “Hak Asuh Atas Anak (Hadhanah)
Antara Hukum Islam dan Hukum Adat Setelah Terjadi Perceraian Antara Suami dan
Istri”[6],
skripsi ini membahas perbandingan hak asuh anak menurut hukum Islam dan hukum
adat.
Skripsi yang berjudul “Pemikiran Ibnu Hazm tentang
Tidak Gugurnya Hak Hadanah Bagi Ibu yang Sudah Menikah Kembali dan
Relevansinya Terhadap Konteks Indonesia”[7]
yang membahas tentang pandangan Ibnu Hazm yang tidak menggugurkan hak hadanah
seorang ibu ketika dia menikah kembali. Dalam skripsi tersebut Muhamad
Izzul Aqna juga membahas bagaimana perbedaan pandangan ulama madzhab dalam
menyikapi kasus gugurnya hak hadanah seorang ibu ketika menikah kembali.
Kemudian Aqna menjelaskan relevansi dalam konteks Indonesia.
Dari berbagai karya tulis diatas, yang membedakan
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini berfokus
untuk mengkaji hadis tentang hak hadanah dalam perceraian. Dalam
penelitian ini penulis mengambil sebuah hadis yang kemudian dikaji dari aspek
sanad dan matan hadisnya, kemudian mengkontekstualisasikan kandungan hadis
tersebut di masa sekarang.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini bersumber pada data-data tertulis yan
berkaitan dengan tema yang dibahas, sehingga penelitian ini becorak penelitian
perpustakaan (Library research). Adapun tekhnik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1. Pengumpulan
Data
Penelitian
ini merupakan studi kepustakaan yakni pengumpulan data baik primer maupun
sekunder. Kitab primer yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah kitab
hadis dan syarahnya. Sebagai langkah awal dari penelitian ini penulis
menggunakan takhrij al-hadis. Hal ini perlu dilakukan guna mengetahui
asal usul riwayat hadis yang diteliti. Untuk membantu pencaharian hadis-hadis
yang diteliti penulis menggunakan kitab al-Mu’jam al-Mufahras lil alfaz
al-Hadis an-Nabawi karya A.J. Wensick dan software Maktabah Syamilah.
Selain
menelusuri hadis dari sumber asli, juga menelusuri hadis-hadis yang yang
semakna dalam berbagai kitab, pada langkah pertama ini juga dilakukan
pengumpulan data mengenai biografi para rawi dari hadis-hadis yang akan
diteliti, serta pendapat para ulama kritikus hadis. Dalam hal ini penulis
merujuk pada kitab-kitab tentang biografi perawi hadis seperti Tahzib
at-Tahzib, Tahzib al-Kamal, serta kitab yang khusus memuat biografi sahabat
seperti Usdu al-Gabah Fi Ma’rifah as-Sahabah.
2. Analisis
Data
Data-data
yang diperoleh dari penelitian perpustakaan berupa sanad dan matan adalah
data yang msih mentah, maka perlu diakan analisis terhadap data-data tersebut,
ayitu menganalisa sanad yang mencakup persambungan sanad, biografi
para periwayat dan sighat tahammul wa al-‘ada’ dan menganalisa matan yang
mencakup analisa kandungan matan. Susunan lafal matan hadis yang
semakna. Untuk membantu analisa tersebut diperlukan suatu langkah yang
mempermudah, yaitu al-I’tibar, yakni menyertakan sanad-sanad lain untuk
hadis tertentu sehingga dapat diketahui ada dan tidaknya pendukung berupa
riwayat yang berstatus mutabi’ dan syahid.
Untuk
mempermudah proses I’tibar, perlu dibuat skema untuk seluruh sanad hadis.
Pembuatan skema ini akan mengacu pada tiga hal penting, yaitu nama-nama
periwayat, seluruh jalur sanad hadis dan metode periwayatan yang
digunakan oleh masing-masing rawi (tahammul wa al-‘ada’).
Langkah
selanjutnya dalam menganalisis data ini adalah penelitian terhadap pribadi para
periwayat, yang dalam hal ini berpijak pada kaidah keshahihan sanad yang
ditentukan para ulama, yaitu penelitian terhadap keadilan dan kedhabitan, al-jarh
wa al-ta’dil serta persambungan sanad.
Selanjutnya
analisis matan atau materi hadis itu sendiri meliputi:
a. Meneliti
matan dengan kualitas sanad
b. Meneliti
susunan lafal matan yamg semakna
c. Meneliti
kandungan matan
G. Sistematika Pembahasan
Untuk menjaga alur pembahasan dan mempermudah
pembahasan maka penelitian ini dibagi menjadi beberapa bab dab sub bab dengan
rasionalisasi pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang mencakup
pembahasan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan
signifikansi penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika
pembahasan.
Bab kedua, menjelaskan tentang takhrij hadis, skema
sanad, berupa i’tibar sanad yang menjelaskan jalur periwayatan hadis, serta
analisis kuantitas hadis.
Bab ketiga, membahas tentang kajian sanad hadis,
berupa biografi perawi hadis, kedudukan perawi hadis baik dalam urutan sanad
maupun urutan periwayat, dan analisis kualitas sanad hadis.
Pada Bab keempat, membahas aspek kritik matan hadis,
yang meliputi kajian kandungan matan hadis, konfirmasi dengan al-Qur’an serta
relasinya dengan hadis-hadis yang se-tema, analisis bahasa, analisis historis
serta kontekstualitas hadis.
Bab kelima, yaitu beisi kesimpulan dan saran
penelitian.
BAB II
DATA HADIS
A. Data Hadis
Dalam
penelitian ini penulis membatasi pencarian hadis hanya dalam kitab-kitab hadis kutubu
al-tis’ah. Penulis melakukan Takhrij Hadis dengan menggunakan kitab al-Mu’jam
al-Mufahras lil alfaz al-Hadis an-Nabawi, dengan menggunakan kata kunci طلق ditemukan satu hadis dalam kitab Sunan Abu
Daud. Kemudian penulis melakukan takhrij dengan menggunakan kata kunci تنكحي melalui software
Maktabah Syamilah, ditemukan dua hadis dalam kitab Sunan Abu Daud dan
Musnad Ahmad bin Hanbal.
B. Redaksi Hadis
1. Sunan
Abu Daud[8]
حَدَّثَنَا
مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ السُّلَمِىُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنْ أَبِى عَمْرٍو -
يَعْنِى الأَوْزَاعِىَّ - حَدَّثَنِى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ
جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنَّ ابْنِى هَذَا كَانَ بَطْنِى لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِى
لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِى وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّى
فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا
لَمْ تَنْكِحِى »
2. Musnad
Ahmad bin Hanbal[9]
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عَمْرٍو أَنَّ امْرَأَةً أَتَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّ ابْنِى هَذَا كَانَ بَطْنِى لَهُ وِعَاءٌ وَحِجْرِى لَهُ حِوَاءٌ
وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءٌ وَزَعَمَ أَبُوهُ أَنَّهُ يَنْزِعُهُ مِنِّى قَالَ «
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تُنْكَحِى ».
C. Kuantitas Hadis
1.
Skema Sanad
Terdapat dua jalur sanad dari hadis tentang Hak
Hadanah dalam Perceraian
oleh anaknya. Seluruh hadis tersebut ditemukan dari kutub al-Tis’ah yang
diriwayatkan oleh dua mukharrij, yakni Abu Daud dan Imam Ahmad bin Hambal.

2.
Analisis Sanad
Hadis
ini terdiri dari dua jalur sanad, yaitu:
a. Jalur
I







b. Jalur
II






BAB
III
KRITIK
SANAD
A. Redaksi Hadis
Hadis
utama dalam penelitian ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud nomor
2276.[10]
حَدَّثَنَا
مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ السُّلَمِىُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنْ
أَبِى عَمْرٍو - يَعْنِى الأَوْزَاعِىَّ - حَدَّثَنِى عَمْرُو بْنُ
شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ
امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِى هَذَا كَانَ بَطْنِى لَهُ
وِعَاءً وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِى لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ
طَلَّقَنِى وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّى فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- « أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِى »
"Telah
menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As Sulami, telah menceritakan kepada
kami Al Walid dari Abu 'Amr Al Auza'i, telah menceritakan kepadaku 'Amr bin
Syu'aib, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah bin 'Amr bahwa seorang
wanita berkata; wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah
tempatnya, dan putting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah
rumahnya, sedangkan ayahnya telah menceraikannya dan ingin merampasnya dariku.
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya; engkau
lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah."
Adapun skema sanad
hadis tersebut adalah :
Nabi Muhammad
SAW. → Abdullah bin Amru → Syu’aib bin
Muhammad → Amru bin Syu’aib → Abdurrahman bin Amru → Walid bin
Muslim → Mahmud bin Khalid→ Abu Daud.
Nama
periwayat
|
Urutan
sebagai Sanad
|
Urutan
sebagai periwayat
|
Abdullah bin Amru
|
VI
|
I
|
Syu’aib bin Muhammad
|
V
|
II
|
Amru bin Syu’aib
|
IV
|
III
|
Abdurrahman bin Amru
|
III
|
IV
|
Walid bin Muslim
|
II
|
V
|
Mahmud bin Khalid
|
I
|
VI
|
Abu Daud
|
Mukharij
al-hadis
|
VII
|
B.
Penilaian
Terhadap Perawi Hadis
Untuk melihat keshahihan sebuah hadis, kaidah ilmu hadis menyatakan bahwa
yang pertama kali perlu diteliti adalah sanadnya. Bila sanadnya dinyatakan
shahih, barulah matan-nya bisa diperhatikan. Bila tidak, maka matannya
dipandang tidak shahih lagi. Untuk menguji keshahihan sanad hadis di atas,
berikut ini akan ditelusuri identitas para perawinya. Berikut ini identitas
orang-orang yang meriwayatkan dari jalur tersebut :
1. Abdullah
bin Amru
Nama lengkapnya Abdullah bin Amru
bin Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Sa’id bin Sahm bin Amru bin Hashish bin Ka’ab
bin La’wi. Beliau dikenal dengan nama Abdullah bin Amru As-Sahmiy, kunyahnya
Abu Muhammad, abu Nashr, nasabnya al-Makkiy, al-Quraisyiy. Wafat di Thaifah
pada tahun 63 H. Guru-gurunya antara lain: Abdurrahman bin Sahr, Aisyah binti
Abdullah bin Utsman, Utsman bin Affan, Umar bin Khatab, dll. Sedangkan
murid-muridnya adalah Abu Sufyan, Ibrahim bin Muhammad, Tsabit bin Aslam, Jabir
bin Amru, Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin Amru, Abdurrahman bin
Jabir, dll. Menurut Ibnu Hiban dia masuk islam sebelum ayahnya, yaitu selisih
13 tahun. Menurut adz-Dzahabi dia adalah ulama yang ahli ibadah. Sedangkan
menurut Abi Hatim ar-Razi dan Ibnu Hajar al-Asqalani dia adalah seorang
sahabat.[11]
2. Syu’aib
bin Muhammad
Nama lengkapnya Syu’aib bin Muhammad
bin Abdullah bin Amru bin Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Sa’id bin Sa’d bin Sahm
bin Amru bin Hashish bin Ka’ab bin La’wi. Nama masyhurnya Syu’aib bin Muhammad
as-Sahmiy, nasabnya al-Qurasyiy. Guru-gurunya antara lain Ishaq bin Abdullah,
Zaid bin Aslam, Sulaiman bin Yasar, Abdullah bin Amru, Mu’awiyah bin
Sahr, Hasyim bin Ash, dll. Sedangkan murid-muridnya, Utsman bin Hakim, Amru
bin Syu’aib, Abdurrahman bin Kharis, Tsabut bin Aslam, dll. Menurut Abu
Daud, Ahmad bin Hanbal, Husain bin Ahmad Bakir dan Yahya bin Ma’in, “tsiqah”,
sedangkan menurut adz-Dzahabi dan Ibnu hajar al-Asqalani “Shaduq”.[12]
3. Amru
bin Syu’aib
Nama lengkapnya Amru bin Syu’aib bin
Muhammad bin Abdullah bin Amru bin Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Sa’id bin Sa’d
bin Sahm bin Amru bin Hashish bin Ka’ab bin La’wi. Nama Msyhurnya Amru bin
Syu’aib al-Qurasyiy, kunyahnya Abu Ibrahim, Abu Abdullah, nasabnya al-Madaniy,
al-Qurasyiy. Wafat pada tahun 118 H di Thaif. Guru-guru adalah Anas bin Malik,
Khalid bin Amin, Syu’aib bin Muhammad, Sulaiman bin Musa, Abdullah bin
Abdurrahman, dll. Sedangkan murid-muridnya Ayub bin Kaisan, Ibrahim bin Ismail,
Zuhair bin Muhammad, Sufyan bin Husain, Abdurrahman bin Amru, dll.
Menurut ad-Darimi, Ibnu Hiban, an-Nasa’I , al-Baihaqi “tsiqah”.[13]
4. Abdurrahman
bin Amru
Nama lengkapnya Abdurrahman bin Amru
bin Yahmud, kunyahnya Abu Amru, nasabnya as-Syamiy, laqabnya Ibnu Abi Amru.
Lahir pada tahun 87H dan wafat tahun 157
di Beirut. Guru-gurunya antara lain Ishaq bin Abdullah, Ismail bin Abdullah,
Daud bin Dinar, Amru bin Syu’aib, Qasim bin Muhammad, dll. Sedangkan
murid-muridnya Ahmad bin Muhammad, Basyr bin Ismail, Hasan bin Yahya, Walid
bin Muslim, Muhammad bin Abdurrahman, dll. Menurut al-Baihaqi,
an-Naisaburi, Ahmad bin Shaleh, Ibnu Hajar al-Asqalani, dan Yahya bin Ma’in “tsiqah”.
Sedangkan Ahmad bin Hanbal mendhaifkan hadisnya, namun menurut adz-Dzahabi dia
adalah syikhul Islam.[14]
5. Walid
bin Muslim
Nama lengkapnya Walid bin Muslim,
kunyahnya Abu Abas, nasabnya as-Syamiy, nama masyhurnya al-Walid bin Muslim
al-Qurasyiy. Lahir pada tahun 121H dan wafat pada tahun 194H di Makkah.
Guru-gurunya antara lain: Abu Utsman, Ibrahim bin Muhammad, Ismail bin Rafiq, Abdurrahman
bin Amru, Malik bin Anas, Laits bin Sa’d, dll. Sedangkan murid-muridnya
Ahmad bin Ibrahim, Ja’far bin Muhammad, hakim bin Musa, Mahmud bin Khalid, Muhammad
bin Yusuf, dll. Menurut Ibnu Hatim alr-Razi “Shalih al-hadis”, Ahmad bin
Hnbal dan Ahmad bin Shaleh “tsiqah”.[15]
6. Mahmud
bin Khalid
Nama lengkapnya Mahmud bin Khalid
bin yazid, kunyahnya Abu Ali, nasabnya as-Salamiy, [16]
laqabnya Ibnu Abi Khalid. Lahir pada tahun 176 H dan wafat tahun 249H.
guru-gurunya antara lain: Khalid bin Yazid, Sulaiman bin Abdurrahman, Syu’aib
bin Ishaq, Walid bin Muslim, Hasyim bin Basyir, Marwan bin Muhammad,
dll. Sedangkan Muridnya Ismail bin Muhammad, Ja’far bin Ahmad, Sulaiman bin
Ayub, Shalih bin Abdullah, Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir, dll.
Menurut Abu Hatim ar-razi, Ibnu Hiban, an-Nasa’I, Ibnu hajar al-Asyqalani dan
adz-Dzahabi “tsiqah”.[17]
7. Abu
Daud
Nama lengkapnya Sulaiman bin
al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amru bin Imran bin al-Azdi
al-Sijistani. Beliau dilahirkan di Sijistan pada tahun 202H. Pada tahun 275H
tepatnya tanggal 16 Syawal ia menghembuskan nafas terakhir. Guru-gurunya antara
lain Ahmad bin Qasim, Abu Muslim, Mahmud bin Khalid, Muhammad bin Yazid, Yahya bin Ma’in, Musa bin
Ismail, dll.[18]
C.
Analisis
Sanad
Dari kajian
sanad di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sanad hadis hak asuh anak dalam
perceraian ini memenuhi syarat keshahihan sanad. Semua syarat keshahihan sanad
telah dapat terpenuhi. Syarat-syarat keshahihan sanad ialah ketersambungan
sanad (ittishal al-sanad), para perawinya kredibel (tsiqqahu al-ruwah),
intelektualitas perawi (dhabtu al-ruwah). Semua rijal yang terlibat dalam
periwayatan terbukti memiliki relasi sebagai guru-murid. Kredibilitas maupun
intelektualitas mereka juga tidak perlu dilakukan lagi. Tidak ada seorang
perawi pun yang berstatus dhaif. Tidak ada cela ('illat) pada para rijal
tersebut.
BAB IV
KRITIK MATAN
A. Redaksi Matan Hadis
Hadis ini
hanya memiliki dua redaksi hadis, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud
dan Ahmad bin Hanbal.
1. Sunan
Abu Daud[19]
حَدَّثَنَا
مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ السُّلَمِىُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنْ أَبِى عَمْرٍو -
يَعْنِى الأَوْزَاعِىَّ - حَدَّثَنِى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ
جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنَّ ابْنِى هَذَا كَانَ بَطْنِى لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِى
لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِى وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ
مِنِّى فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ
مَا لَمْ تَنْكِحِى »
“Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As Sulami,
telah menceritakan kepada kami Al Walid dari Abu 'Amr Al Auza'i, telah
menceritakan kepadaku 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya dari kakeknya yaitu
Abdullah bin 'Amr bahwa seorang wanita berkata; wahai Rasulullah, sesungguhnya
anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan putting susuku adalah tempat
minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah
menceraikannya dan ingin merampasnya dariku. Kemudian Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam berkata kepadanya; engkau lebih berhak terhadapnya selama
engkau belum menikah.”
2. Musnad
Ahmad bin Hanbal[20]
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عَمْرٍو أَنَّ امْرَأَةً أَتَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّ ابْنِى هَذَا كَانَ بَطْنِى لَهُ وِعَاءٌ وَحِجْرِى لَهُ حِوَاءٌ
وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءٌ وَزَعَمَ أَبُوهُ أَنَّهُ يَنْزِعُهُ مِنِّى قَالَ « أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ
تُنْكَحِى ».
“Telah
menceritakan kepada kami Rauh telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dari
'Amru bin Syu'aib dari bapaknya dari Abdullah bin 'Amru, dia berkata; bahwa ada
seorang wanita datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam lalu berkata:
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, dulu perutku adalah tempat
baginya, pangkuanku adalah rumah baginya, dan payudaraku adalah tempat minum
baginya, tapi bapaknya ingin merebutnya dariku?" Beliau menjawab:
"Kamu lebih berhak atasnya (anakmu) selama kamu belum menikah
(lagi)."”
B. Teks Hadis
Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan redaksi hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Daud, redaksi hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad bin Hanbal
terdapat perbedaan lafadz sebagai berikut.
Dalam
riwayat Abu Daud disebutkan:[21]
أَنَّ
امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِى هَذَا كَانَ بَطْنِى لَهُ
وِعَاءً وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِى لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِى وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ
مِنِّى فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَنْتِ
أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِى »
“…seorang
wanita berkata; wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah
tempatnya, dan putting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah
rumahnya, sedangkan ayahnya telah menceraikannya dan ingin merampasnya dariku.
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya; engkau
lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah.””
Sedangkan
dalam riwayat Ahmad bin Hanbal disebutkan:[22]
أَنَّ
امْرَأَةً أَتَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنَّ ابْنِى هَذَا كَانَ بَطْنِى لَهُ وِعَاءٌ وَحِجْرِى لَهُ حِوَاءٌ وَثَدْيِى
لَهُ سِقَاءٌ وَزَعَمَ أَبُوهُ أَنَّهُ يَنْزِعُهُ
مِنِّى قَالَ « أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تُنْكَحِى »
“…ada seorang wanita
datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam lalu berkata: "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, dulu perutku adalah tempat baginya,
pangkuanku adalah rumah baginya, dan payudaraku adalah tempat minum baginya,
tapi bapaknya ingin merebutnya dariku?" Beliau menjawab: "Kamu lebih
berhak atasnya (anakmu) selama kamu belum menikah (lagi)."”
C.
Kandungan
Matan
1. Analisis
Bahasa
Hadis tentang hak hadanah dalam
perceraian diriwayatkan bil ma’na dengan perbedaan redaksi sebagai
berikut:
1)
Kedua hadis yang
diriwayatkan Abu Daud dan Ahmad bin Hanbal terdapat perbedaan urutan, namun
menggunakan lafad yang sama. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud ابْنِى
هَذَا كَانَ بَطْنِى لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِى
لَهُ حِوَاءً , sedangkan yang
diriwayat oleh Ahmad هَذَا كَانَ بَطْنِى
لَهُ وِعَاءٌ وَحِجْرِى لَهُ حِوَاءٌ وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءٌ.
2)
Hadis yang
riwayatkan oleh Abu Daud nomor 2276 menggunakan lafad وَإِنَّ
أَبَاهُ طَلَّقَنِى وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّى sedangkan yang
diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal nomor 6878 menggunakan lafad وَزَعَمَ أَبُوهُ أَنَّهُ يَنْزِعُهُ مِنِّى
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Daud menggunakan kata “al-thalaq”, sedangkan Ahmad bin Hanbal tidak
menggunakan kata “al-thalaq”. Abu Daud menggunakan kata “araada”
yang berarti menginginkan, berniat, menghendaki. Sedang dalam hadis Ahmad bin
Hanbal menggunakan kata “za’ama” yang artinya menguasai, menginginkan,
mengklaim.[23]
Keduanya kata tersebut sama-sama mengindikasikan bahwa ayah dari anak tersebut
menginginkan anaknya, ingin merebut anak tersebut dari ibunya.
2. Analisis
Historis
Asbabul wurud mikro hadis ini,
seperti yang telah diceritakan dalam teks hadis, yaitu ada seorang wanita yang
datang kepada Rasulullah, dia menceritakan bahwa suaminya ingin merebut
anaknya. Namun, wanita tersebut merasa bahwa dirinya lebih dibutuhkan anaknya,
karena seorang ibu merupakan tempat berlindung seorang anak. Kemudian Rasulullah
bersabda bahwa seorang ibu lebih berhak atas anaknya selama dia belum menikah.
Sedangkan asbabul wurud makro hadis
ini, berkaitan dengan kondisi sosial historis masyarakat Arab pada waktu itu.
Di masa itu, wanita atau seorang ibu perkerjaan selalu tidak lepas dari
pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah dan
lain-lain. Sehingga dalam hal ini, wanita selalu berada di dalam rumah sehingga
perhatiannya seorang ibu terhadap anaknya lebih besar, karean ia yang merawat
dan menjaga lebih dekat dibandingkan seorang ayah. Berbeda halnya dengan zaman
sekarang yang banyak anak ditinggal oleh ibunya untuk bekerja. Sehingga waktu
untuk merawat dan memberikan kasih sayang kepada anaknya terkurangi.
3. Analisis
Tematik
a.
Konfirmasi
dengan Ayat al-Qur’an
Al-Qur’an tidak menjelaskan secara
langsung tentang hukum hak asuh anak dalam perceraian. Namun, al-Qur’an telah
menyinggung tentang keutamaan seorang ibu yang mengasuh anaknya. Seperti dalam
surat al-Baqarah : 233 sebagai berikut:
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ
الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ
بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُواْ أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللّهَ
وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Para
ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya
dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Berdasarkan ayat diatas, Allah
memerintahkan seorang ibu untuk menyusui anaknya. Jika seorang anak masih
menyusui ibunya maka seorang ibu lebih berhak untuk mengasuh anaknya. Anak yang
masih balita juga masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu, karena masa ini
merupakan masa pertumbuhan si anak baik dari segi jasmani maupun kejiwaan.
Menurut Sayyid Qutb, seorang ibu wajib
menyusui anaknya, walapun anak tersebut diasuh oleh sang ibu, namun disatu sisi
seorang ayah juga masih mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada
anaknya, meskipun telah bercerai dengan istrinya. Jadi masing-masing pihak
mempunyai kewajiban, ibu menyusui, memelihara dan merawat, sedangkan sang ayah
memberika nafkah kepada ibu sebagai imbalan karena si ibu telah menyusui
anaknya. Namun apabila orang tua anak, yaitu ayah dan ibu sepakat untuk
menyapih atau dengan mendatangkan orang untuk menyusui si anak demi
kemaslahatannya, menurut Sayyid Qutb hal ini dibolehkan. Asalkan mereka
membayar upah kepada wanita yang menyusui.[24]
Dari pemaparan Sayyid Qutb diatas, biasa
ditarik kesimpulan bahwa apabila si anak masih balita atau masih menyusui
ibunya, ibu lebih berhak mengasuhnya. Namun, jika sang ibu tidak sanggup untuk
mengasuh anaknya, maka sang ayahmendapatkan hak asuh anaknya dengan
mendatangkan seorang utuk menyusui anaknya ataupun menyapihnya jika hal itu
adalah yang terbaik buat si anak.
b.
Konfirmasi
dengan Hadits se-Tema
Hadis tentang hak asuh anak setelah perceraian diatas, mengatakan
bahwa seorang ibu lebih berhak atas anaknya. Hadis tersebut berlaku untuk anak
yang belum baligh atau masih menyusui ibunya. Dalam hadis lain, seorang anak
disuruh memilih antara bapaknya atau ibunya. Seperti dalam kasus yang terdapat
dalam hadis dibawah ini.
سَمِعْتُ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا قَاعِدٌ عِنْدَهُ
فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي
وَقَدْ سَقَانِي مِنْ بِئْرِ أَبِي عِنَبَةَ وَقَدْ نَفَعَنِي فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَهِمَا عَلَيْهِ فَقَالَ زَوْجُهَا
مَنْ يُحَاقُّنِي فِي وَلَدِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ هَذَا أَبُوكَ وَهَذِهِ أُمُّكَ فَخُذْ بِيَدِ أَيِّهِمَا شِئْتَ
فَأَخَذَ بِيَدِ أُمِّهِ فَانْطَلَقَتْ بِهِ
“aku
telah mendengar seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam sementara aku duduk di sisinya, kemudian ia berkata; wahai Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa anakku,
sementara ia telah membantuku mengambil air dari sumur Abu 'Inabah, dan ia
telah memberiku manfaat. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Undilah anak tersebut!" kemudian suaminya berkata;
siapakah yang akan menyelisihiku mengenai anakku? Kemudian Nabi shallallahu
'alaihi wasallam berkata: "Ini adalah ayahmu dan ini adalah ibumu,
gandenglah tangan salah seorang diantara mereka yang engkau kehendaki!"
kemudian ia menggandengang tangan ibunya, lalu wanita tersebut pergi membawanya.”
(HR. Abu Daud 1939)[25]
Hadis tersebut, menggambarkan bahwa anak
dalam kasus perceraian tersebut sudah baaligh, sehingga dia bisa memilih mana
yang terbaik untuknya. Sedangkan dalam kasus hadis yang menjadi kajian ini,
menunjukkan bahwa anak tersebut masih menyusui ibunya, sehingga benar
bahwasanya Rasulullah mengatakan bahwa ibunya lebih berhak mengasuhnya. Karena
memang sudah menjadi kewajiban seorang ibu untuk menyusui anaknya hingga usia
dua tahun.
Kebolehan seorang anak untuk memilih
antara kedua orang tuanya juga telah dicontohkan nabi dalam sebuah hadis
sebagai berikut:
“diriwayatkan dari Rafi’ bin Sinan, ia
masuk Islam sementara istrinyaenggan ikut masuk islam. Istrinya kemudian datang
kepada Nabi dan berkata, “dia putriku, ia sudah disapih atau seusia itu. ‘Dia
putriku’ Rafi juga mengatakan hal yang sama. Nabi kemudian berkata kepada
Rafi’, ‘duduklah diujung sana’ dan berkata kepada istrinya ‘duduklah diujung
sana’. Kemudian Nabi menempatkan si anak tersebut diantara keduanya, setelah
itu beliau berkatakepada Rafi’ dan istrinya, ‘panggillah dia’. Si putri kecil
itu ternyata lebih condong kepada ibunya, lalu Nabi berdo’a ‘Ya Allah berilah
ia petunjuk’ putri kecil itu kemudian condong kepada ayahnya, ia pun dibawa
pergi ayahnya.”
Hadis tersebut memberikan penjelasan
bahwa tidak selamanya ibu itu yang terbaik, karena dalam kasus hadis diatas
ibunya adalah seorang kafir. Jika dilihat dari teks hadis tersebut seperti anak
tersebut belum dapat memilih sehingga Rasulullah berdo’a agar anak tersebut
diberikan hidayah untuk memilih ayahnya. Sehingga secara tidak langsung
Rasulullah menginginkan ayah dari anak tersebut yang mengasuhnya. Hal ini
dikarenakan rasulullah mengetahui bahwa ibu sang anak bukanlah seorang muslim.
4. Kontekstualisasi
a.
Syarat-Syarat
Mengasuh Anak
Sebagian ahli fiqih berpendapat bahwa yang
berhak atas pengasuhan itu ialah anak. Artinya pengasuh dapat dipaksakan
melaksanakan pengasuhannya yang berkewajiban apabila pengasuh tidak mau
melaksanakan. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa pengasuhlah yang berhak
atas asuhan si anak. Pengasuh tidak dapat dipaksaan apabila dia tidak mau
melaksanakannya. Dari kedua pendapat itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa
pengasuhan itu, disamping hak dari anak asuh juga merupakan hak dari si
pengasuh.[26]
Terlepas dari itu, menurut sebagian ahli
fiqh bahwa pengasuhan anak yang paling baik adalah dilakukan oleh ibu-ibu
bapaknya yang masih terikat dengan tali perkawinan. Namun ketika terjadi
perceraian, maka ibu lebih berhak melaksanakan pengasuhannya dari pada ayahnya.
Hal ini sesuai dengan hadis yang telah dijelaskan diatas. Sedangkan urutan
orang yang berhak melaksanakan pengasuhan anak, menurut mazhab Syafi’i adalah:[27]
Pertama, apabila anak asuh
mempunyai kerabat laki-laki dan perempuan, maka didahulukan ibu dari bapak. Kemudian
ibu dari ibu dan seterusnya keatas dengan syarat anak asuh dan pengasuh ada
hubungan waris mewarisi. Apabila ibu, dari ibu dan seterusnya keatas tidak ada,
maka bapak yang berhak melaksanakan pengasuhan, kemudian ibu dari bapak dan
seterusnya keatas dengan syarat ada hubungan waris mewarisi.
Kedua, apabila
anak asuh hanya memiliki keluarga perempuan saja, maka didahulukan ibu,
kemudian ibu dari ibu dan seterusnya keatas, kemudian ibu dari bapak dan
seterusnya keatas, kemudian saudara perempuan, kemudian saudara perempuan ibu,
kemudian anak perempuan saudara, kemudian saudara perempuan bapak, kemudian
anak perempuan dari saudara perempuan ibu, kemudian anak perempuan dari saudara
bapak yang laki-laki, kemudian anak perempuan dari saudara ibu yang laki-laki
dengan ketentuan: didahulukan yang sekandung dari yang bukan sekandung dan
didahulukan yang sebapak dari yang seibu.
Ketiga, apabila
anak asuh hanya mempunyai keluarga yang laki-laki saja, maka didahulukan bapak,
kemudian kakek, kemudian saudara laki-laki yang sekandung, kemudian saudara
laki-laki yang seayah, kemudian saudara laki-laki yang sekandung atau sebapak,
kemudian saudara laki-laki dari bapak yang sekandung atau sebapak, kemudian
anak dari saudara laki-laki dari bapak.
b.
Hak Ibu Untuk
Mengasuh Anak dan Gugurnya Hak Asuh
Dalam kasus perceraian, jika anak masih
berusia dibawah tujuh tahun, maka seorang ibu lebih berhak atas hak asuh
anaknya. Hal ini berdasarkan beberapa alasan, seperti bahwa kasih sayang
seorang ibu pada anak melebihi kasih sayang ayah, karena perut ibu menjadi
tempatnya, susunya menjadi minumannya, dan dekapannya menjadi naungannya. Ibu
lebih mampu mengasuh anak melebihi ayah karena ia selalu berada dirumah. Ibu
mengasuh anak secara langsung, sementara ayah tidak. Ayah hanya menyerahkan
urusan anak kepada istrinya (ibu tiri si anak). Untuk itu, ibu kandung lebih
berhak mengasuh anaknya dari pada ibu tiri.[28]
Terlepas dari itu, seorang juga hendaknya
memenuhi beberapa persyaratan agar memiliki hak pengasuhan anak. Syarat-syarat
yang dimaksud sebagai berikut:[29]
1)
Berakal
2)
‘adalah (lurus
agamanya)
3)
Islam
4)
Status merdeka
5)
Menyusui
(seorang ibu harus menyusui anaknya, berlaku untuk anak yang masih menyusui)
6)
Mampu mengasuh
anak
7)
Dewasa
8)
Tidak lalai
terhadap anaknya
9)
Tidak memiliki
suami (belum menikah lagi)
Seperti halnya yang telah disebutkan di
dalam hadis, bahwa “engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum
menikah”. Menurut jumhur Ulama, hak hadanah seorang ibu akan gugur ketika ia
menikah lagi. Konsep yang dipegang erat jumhur ulama ini memiliki alasan bahwa
jika ibu menikah lagi dengan orang lain yang bukan mahramnya, maka ia akan
melirik anak itu dengan kemarahan, memendam rasa benci dan berburuk sangka pada
ibunya, karena disangka bahwa ibu akan memberi makan anak itu dengan uangnya,
bisa-bisa perbedaan antara ibu dan suaminya menjadi sangat keras dan
mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, seperti perceraian.[30]
Berbeda halnya dengan Ibnu Hazm yang
berpendapat bahwa ketika seorang ibu menikah lagi tidak mengugurkan hak asuh anaknya,
karena menurutnya kasih sayang ibu lebih baik dari seorang ayah. Kemudian, Ibnu
Hazm pun menyandarkan kepada beberapa kejadian yang telah menimpa Nabi Muhammad
SAW sendiri dan para sahabatnya, diantaranya: Pertama, Anas bin Malik yang
masih tetap diasuh oleh ibunya, padahal ibunya telah menikah kembali dengan
orang lain, yaitu Abu Talhah. Kedua, Ummu Salmah yang menikah dengan Nabi
Muhammad SAW. dan anaknya masih tetap berada dalam tanggungannya (diasuh olehnya).
Ketiga, anak perempuan Hamzah yang masih diasuh oleh bibinya sesuai ketetapan
Nabi Muhammad SAW., padahal bibinya telah menikah kembali.[31]
Selain itu, ketika anak sudah menginjak
dewasa, maka hak hadanah (hak asuh anak) seorang ibu akan gugur. Karena pada
saat itu, anak sudah bisa menentukan ingin bersama ayah atau ibunya. Sehingga
anak memiliki hak untuk memilih.
D. Analisis General
Anak merupakan amanah yang diberikan
Tuhan kepada orang tua, orang tua hendak merawat, mengasuh, mendidiknya dengan
penuh kasih sayang. Ibu dan ayah mempunyai tanggung jawab masing-masing dalam
mengasuh anaknya. Ketika ayah dan ibu anak melakukan perceraian, hak asuh anak
seringkali diperebutkan. Jika anak sudah dewa ia bisa menentukan pilihan untuk
bersama ibu atau ayahnya. Namun jika sang anak masih kecil, ibu lebih berhak
untuk mengasuh anaknya. Seperti halnya yang telah dijelaskan oleh Rasulullah
dalam hadis yang sudah kita bahas diatas, bahwasanya seorang ibu lebih berhak
atas anaknya dikarenakan kasih sayang seorang ibu lebih besar dari seorang
ayah. Perut seorang ibu merupakan tempatnya, susunya adalah minumannya serta
pangkuannya menjadi naungannya. Ibu juga lebih sering berada dirumah daripada
ayah, sehingga ibu lebih dekat dengan anak.
Namun,
melihat realitas pada saat ini, khususnya di negara Indonesia sendiri. Banyak
kasus kekerasan yang justru dilakukan oleh seorang ibu, sehingga dekapannya
bukanlah sebuah naungan lagi. Bahkan sebagian dari mereka membunuh anaknya sendiri,
anak menjadi pelampiasan kemarahannya. Komisi Perlindungan Anak (KPI)
mendapatkan laporan bahwa dari 702 kasus kekerasan dibidang keluarga dan
pengasuhan alternatife, 55 persen adalah kasus kekerasan yang dilakukan seorang
ibu terhadap anaknya. Berdasarkan catatan KPAI, faktor penyebab pelanggaran hak
anak dalam keluarga yang tertinggi adalah akses bertemu orang tua yang,
kemudian disusul perebutan hak asuh, nafkah, dan penculikan anak.[32]
Bahkan kasus kekerasan ibu terhadap anak menjadi salah satu kasus yang menonjol
di tahun 2016. Faktor perceraian turut memicu kekerasan terhadap anak. [33]
keluarga yang berantakan menimbulkan dampak buruk pada anak.
Berbagai problem diatas, mengisyaratkan bahwa tidak
selamanya ibu lebih berhak atas hak asuh anak. Dalam memutuskan hak asuh anak
yang masih dibawah umur, maka kita harus melihat kemaslahatan seorang anak.
Jika memang sang ibu lebih baik dan lebih menyayangi anaknya, maka ibu yang
lebih baik mendapatkan hak asuh anak. Namun, jika sang ayah yang lebih memberikan
kebaikan kepada sang anak, maka demi kemaslahatan anak ayah berhak untuk
mengasuhnya.
BAB
V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari kajian sanad tentang hak hadanah dalam perceraian, dapat ditarik kesimpulan bahwa sanad hadis tersebut adalah memenuhi syarat keshahihan sanad. Syarat-syarat keshahihan sanad ialah
ketersambungan sanad (ittishal al-sanad), para perawinya kredibel (tsiqqahu
al-ruwah), intelektualitas perawi (dhabtu al-ruwah). Semua rijal yang terlibat
dalam periwayatan terbukti memiliki relasi sebagai guru-murid. Kredibilitas
maupun intelektualitas mereka juga tidak perlu dilakukan lagi. Tidak ada
seorang perawi pun yang berstatus dhaif. Tidak ada cela ('illat) pada para
rijal tersebut. Selanjutnya dari
sisi matan, hadis tersebut menunjukkan ciri-ciri pernyataan dari
Rasul karena memiliki sanad yang cukup dan tidak ada kata-kata yang gharib. Hadis yang diteiliti juga tidak terjadi
pertentangan dengan hadis lain.
Selain itu, ditemukan beberapa hadis tematik yang
menjadikan penjelasan terhadap hadis tersebut saling menguatkan dan memperjelas. Karena hadis ini terbukti shahih dari sisi sanad dan
matan, maka hadis ini dapat digunakan sebagai hujjah atau diyakini
kebenarannya.
Dari kajian terhadap matan hadis, hak hadanah dalam
perceraian lebih berhak diberikan kepada seorang ibu dengan beberapa syarat.
Salah satunya adalah seorang ibu harus menyusui, merawat, menjaga serta
mendidik anaknya dengan baik. Menurut sebagin jumhur ulama seorang ibu akan
gugur hak hadanahnya ketika ia sudah menikahn lagi. Namun, jika seorang
ibu tidak memenuhi syarat dan sang ayah lebih baik dari pada ibu, maka ayah
berhak untuk mengasuh anaknya.
B. Saran
Bagi pengkaji
selanjutnya, untuk mendapatkan penjelasan yang lebih komprehensif maka
disarankan untuk memfokuskan penelitian pada aspek pemaknaan matan secara
mendalam. Hal ini dikarenakan penelitian terhadap kualitas sanad dan matan
mengeni hadis hak hadanah dalam perceraian dirasa cukup. Pemahaman terhadap matan akan lebih
menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat secara langsung.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud. Sunan Abu Daud. Beirut : Dar al-kutub al-ilmiyah. 2011.
Aqna, Muhammad Izzul. Pemikiran Ibnu
Hazm tentang Tidak Gugurnya Hak Hadanah Bagi Ibu yang Sudah Menikah Kembali dan
Relevansinya Terhadap Konteks Indonesia. Skripsi Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Sunan Kalijaga. 2015.
al-Asqalany, Ibnu Hajar. Tahdhib
al-Tahdhib fi Rijal al-Hadith. Beirut: Dar al-Fikr. 1994.
As-Suwailim, Wafa binti Abdul Aziz. Fikih
Ummahat: Himpunan Hukum Islam Khusus Ibu. terj. Umar Mujtahid. Jakarta:
Ummul Qura. 2013.
Asy-Syaibani, Ahmad bin Hanbal. Musnad
Imam Ahmad. Beirut : Dar al-kutub
al-ilmiyah. 2008.
Fathurrahman, Moh. Sitta. Hak Asuh
Atas Anak (Hadhanah) Antara HUkum Islam dan Hukum Adat Setelah Terjadi
Perceraian Antara Suami dan Istri. Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Sunan Kalijaga. 2008.
Ismail, Mahyudin. Hak Asuh Anak
Akibat Perceraian (Studi Komparatif Hukum Islam dan Hukum Positif). Skripsi
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 2011.
Mukhtar,
Kamal. Asas asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Bulan Bintang. 1993.
Kamus al-Munawwir.pdf
Software Gawamee al-Kaleem
Sayyid Qutb, Terjemah Tafsir Fi Dzilal
al-Qur’an, pdf.
Software Lidwa
http://news.liputan6.com/read/2685886/kpai-55-persen-pelanggaran-hak-anak-dilakukan-ibu?siteName=liputan6
diakses pada tanggal 1 Januari 2017.
http://pilkada.liputan6.com/read/2688576/jurus-anies-baswedan-cegah-kekerasan-terhadap-anak-di-jakarta
diakses pada tanggal 1 Januari 2017.
[1] Kamal Mukhtar, Asas asas
Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Bulan Bintang, 1993), hal. 137.
[2] Kamal Mukhtar, Asas asas
Hukum Islam Tentang Perkawinan, hlm. 140.
[3] http://news.liputan6.com/read/2685886/kpai-55-persen-pelanggaran-hak-anak-dilakukan-ibu?siteName=liputan6
diakses pada tanggal 1 Januari 2017.
[4] http://pilkada.liputan6.com/read/2688576/jurus-anies-baswedan-cegah-kekerasan-terhadap-anak-di-jakarta
diakses pada tanggal 1 Januari 2017.
[5] Mahyudin Ismail, Hak Asuh
Anak Akibat Perceraian (Studi Komparatif Hukum Islam dan Hukum Positif), Skripsi
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2011.
[6] Moh. Sitta Fathurrohman, Hak
Asuh Atas Anak (Hadhanah) Antara HUkum Islam dan Hukum Adat Setelah Terjadi
Perceraian Antara Suami dan Istri, Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Sunan Kalijaga, 2008.
[7] Muhamad Izzul Aqna, Pemikiran
Ibnu Hazm tentang Tidak Gugurnya Hak Hadanah Bagi Ibu yang Sudah Menikah
Kembali dan Relevansinya Terhadap Konteks Indonesia, Skripsi Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2015.
[8] Abu Daud, Sunan Abu Daud, (
Beirut : Dar al-kutub al-ilmiyah, 2011), hlm. 263.
[9] Ahmad bin Hambal Asy-Syaibani, Musnad
Imam Ahmad, ( Beirut : Dar al-kutub al-ilmiyah, 2008), hlm, 587.
[10] Abu Daud, Sunan Abu Daud, (
Beirut : Dar al-kutub al-ilmiyah, 2011), hlm. 263.
[11] Ibnu Hajar al-Asqalany, Tahdhib
al-Tahdhib fi Rijal al-Hadith, jld. 3,
(Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004), hal. 586.
[12] Ibnu Hajar al-Asqalany, Tahdhib
al-Tahdhib fi Rijal al-Hadith, jld. 3, hal. 179.
[13] Ibnu Hajar al-Asqalany, Tahdhib
al-Tahdhib fi Rijal al-Hadith, jld. 5, hal. 43.
[14] Ibnu Hajar al-Asqalany, Tahdhib
al-Tahdhib fi Rijal al-Hadith, jld. 4, hal. 102.
[15] Ibnu Hajar al-Asqalany, Tahdhib
al-Tahdhib fi Rijal al-Hadith, jld. 6, hal. 738
[16] Ibnu Hajar al-Asqalany, Tahdhib
al-Tahdhib fi Rijal al-Hadith, jld. 10, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hal.
59.
[17] Software Gawamee al-Kaleem
[18] Software Gawamee al-Kaleem
[19] Abu Daud, Sunan Abu Daud, (
Beirut : Dar al-kutub al-ilmiyah, 2011), hlm. 263.
[20] Ahmad bin Hambal Asy-Syaibani, Musnad
Imam Ahmad, ( Beirut : Dar al-kutub al-ilmiyah, 2008), hlm, 587.
[21] Abu Daud, Sunan Abu Daud, (
Beirut : Dar al-kutub al-ilmiyah, 2011), hlm. 263.
[22] Ahmad bin Hambal Asy-Syaibani, Musnad
Imam Ahmad, ( Beirut : Dar al-kutub al-ilmiyah, 2008), hlm, 587.
[23] Kamus al-Munawwir.pdf
[25] Software Lidwa
[26] Kamal Mukhtar, Asas asas
Hukum Islam Tentang Perkawinan, hlm. 140.
[27] Kamal Mukhtar, Asas asas
Hukum Islam Tentang Perkawinan, hlm. 141.
[28] Wafa binti Abdul Aziz
as-Suwailim, Fikih Ummahat: Himpunan Hukum Islam Khusus Ibu, terj. Umar
Mujtahid, (Jakarta: Ummul Qura, 2013), hal. 340.
[29] Wafa binti Abdul Aziz
as-Suwailim, Fikih Ummahat: Himpunan Hukum Islam Khusus Ibu, hlm. 341.
[30] Muhamad Izzul Aqna, Pemikiran
Ibnu Hazm tentang Tidak Gugurnya Hak Hadanah Bagi Ibu yang Sudah Menikah
Kembali dan Relevansinya Terhadap Konteks Indonesia, 144.
[31] Muhamad Izzul Aqna, Pemikiran
Ibnu Hazm tentang Tidak Gugurnya Hak Hadanah Bagi Ibu yang Sudah Menikah
Kembali dan Relevansinya Terhadap Konteks Indonesia, hlm. 145.
[32] http://news.liputan6.com/read/2685886/kpai-55-persen-pelanggaran-hak-anak-dilakukan-ibu?siteName=liputan6
diakses pada tanggal 1 Januari 2017.
[33] http://pilkada.liputan6.com/read/2688576/jurus-anies-baswedan-cegah-kekerasan-terhadap-anak-di-jakarta
diakses pada tanggal 1 Januari 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar