Senin, 09 Januari 2017

Hadis Tentang Hak Hadanah dalam Perceraian (Kritik Sanad dan Matan)

Hadis Tentang Hak Hadanah  dalam Perceraian
(Kritik Sanad dan Matan)
by Diana Fitri Umami
A.    Latar Belakang
Pernikahan merupakan sebuah ikatan suci antara dua individu yaitu laki-laki dan perempuan, tujuan dari sebuah pernikahan adalah untuk membentuk sebuah keluarga yang sakinah (bahagia) dengan penuh kasih sayang. Akan tetapi dalam mencapai hal itu,sering kali dihadapkan dengan problematika kehidupan rumah tangga yang memicu adanya konflik antara suami dan istri. Pernikahan bukanlah sebuah ikatan yang abadi, karena dalam kondisi tertentu memang memaksa mereka untuk melakukan perceraian. Perceraian merupakan jalan pintas yang diambil oleh pasangan pernikahan ketika mereka sudah merasa tidak mampu mempertahankan hubungan mereka. Akibatnya anaklah yang akan menjadi korban dari perceraian tersebut, seperti tergangguan psikologis anak yang berimbas terhadap sikap dan perilakunya. Selain itu, dalam berbagai kasus hak asuh terhadap masih sering diperdebatkan, khususnya anak yang masih balita.
Dalam Islam hak asuh anak disebut “hadanah”, yang berasal dari kata “al-hidn” yang berarti rusuk. Artinya seornag ibu yang mengasuh atau menggendong anaknya sering meletakkannya pada sebelah rusuknya atau dalam pangkuan di sebelah rusuknya. Sedangkan menurut Ahli Fiqh, hadanah berarti memelihara anak dari segala macam bahaya yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani dan rohaninya, menjaga makanan dan kebersihannya, mengusahakan pendidikannya hingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupan sebagai seorang muslim.[1]
Terkait dengan hak asuh anak akibat perceraian, terdapat hadis Nabi saw yang menjelaskan bahwa seorang ibu lebih berhak atas anaknya sebelum ia menikah lagi.
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ السُّلَمِىُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنْ أَبِى عَمْرٍو - يَعْنِى الأَوْزَاعِىَّ - حَدَّثَنِى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِى هَذَا كَانَ بَطْنِى لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِى لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِى وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّى فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِى »
"Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As Sulami, telah menceritakan kepada kami Al Walid dari Abu 'Amr Al Auza'i, telah menceritakan kepadaku 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah bin 'Amr bahwa seorang wanita berkata; wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan putting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah menceraikannya dan ingin merampasnya dariku. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya; engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah."
 Hal ini dikarenakan wanita itu lebih baik melaksanakan pengasuhannya dibandingkan laki-laki. Disamping itu wanita pada umumnya lebih sering dirumah, sedangkan laki-laki lebih sering melaksanakan pekerjaan di luar rumah. Selain itu, seorang ibu merupakan sosok yang yang halus, pemurah, penyantun dan penyayang.[2] Namun dalam melihat realitas saat ini, wanita tidak hanya berperan dalam rumah tangga. Banyak kaum wanita pada zaman sekarang yang bekerja seperti halnya lelaki, bahkan sebagian mereka banyak yang menjadi tulang punggung keluarga. Sehingga waktu mereka untuk keluarga dan anaknya hanya sedikit. Disamping itu, akhir-akhir ini juga marak terjadi kasus kekerasan seorang ibu terhadap anaknya. Komisi Perlindungan Anak (KPI) mendapatkan laporan bahwa dari 702 kasus kekerasan dibidang keluarga dan pengasuhan alternatife, 55 persen adalah kasus kekerasan yang dilakukan seorang ibu terhadap anaknya. Berdasarkan catatan KPAI, faktor penyebab pelanggaran hak anak dalam keluarga yang tertinggi adalah akses bertemu orang tua yang, kemudian disusul perebutan hak asuh, nafkah, dan penculikan anak.[3] Bahkan kasus kekerasan ibu terhadap anak menjadi salah satu kasus yang menonjol di tahun 2016. Faktor perceraian turut memicu kekerasan terhadap anak. [4] keluarga yang berantakan menimbulkan dampak buruk pada anak.
Melihat problematika diatas, apakah hadis yang mengatakan bahwa seorang ibu lebih berhak atas hak asuh anak masih relevan untuk saat ini? Oleh karena itu, untuk menjawab berbagai masalah diatas perlu adanya kajian kembali mengenai hadis tersebut, agar dapat dipahami dan dapat menjadi solusi dalam mengatasi problem-problem mengenai hadanah dalam perceraian. Dalam kajian hadis, untuk memahami sebuah hadis perlu dilakukan kajian terhadap matan hadis (kritik sanad) untuk mengetahui kualitas hadis, sehingga hadis tersebut dapat dijadikan hujjah. Kemudian, untuk memahami kandungan hadis, maka dilakukan kajian terhadap matan hadis (kritik matan).

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana otentisitas hadis tentang hak hadanah dalam perceraian?
2.      Bagaimana pemahaman dan kontekstualisasi hadis tentang hak hadanah dalam perceraian?
C.    Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui otentisitas hadis tentang hak hadanah dalam perceraian.
2.      Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan kontekstualisasi hadis hak hadanah dalam perceraian.
D.    Signifikansi Penelitian
1.      Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dalam menetapkan hak hadanah dalam percerai.
2.      Penelitian ini juga diharapkan memberi khazanah keilmuan dalam studi islam, terutama dalam kajian hadis.
E.     Telaah Pustaka
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan karena sumber datanya berupa buku-buku atau kitab-kitab. Sumber primer dari penelitian ini adalah kitab-kitab hadis primer dan kitab syarah hadis, sedangkan sumber sekundernya adalah buku-buku maupun karya tulis  yang membahas tentang hak asuh anak dalam perceraian.
Skripsi yang berjudul “Hak Asuh Anak Akibat Perceraian (Studi Komparatif Hukum Islam dan Hukum Positif)”[5], skripsi tersebut menjelaskan bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap hak asuh anak dalam perceraian.
Skripsi yang berjudul “Hak Asuh Atas Anak (Hadhanah) Antara Hukum Islam dan Hukum Adat Setelah Terjadi Perceraian Antara Suami dan Istri”[6], skripsi ini membahas perbandingan hak asuh anak menurut hukum Islam dan hukum adat.
Skripsi yang berjudul “Pemikiran Ibnu Hazm tentang Tidak Gugurnya Hak Hadanah Bagi Ibu yang Sudah Menikah Kembali dan Relevansinya Terhadap Konteks Indonesia”[7] yang membahas tentang pandangan Ibnu Hazm yang tidak menggugurkan hak hadanah seorang ibu ketika dia menikah kembali. Dalam skripsi tersebut Muhamad Izzul Aqna juga membahas bagaimana perbedaan pandangan ulama madzhab dalam menyikapi kasus gugurnya hak hadanah seorang ibu ketika menikah kembali. Kemudian Aqna menjelaskan relevansi dalam konteks Indonesia.

Dari berbagai karya tulis diatas, yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini berfokus untuk mengkaji hadis tentang hak hadanah dalam perceraian. Dalam penelitian ini penulis mengambil sebuah hadis yang kemudian dikaji dari aspek sanad dan matan hadisnya, kemudian mengkontekstualisasikan kandungan hadis tersebut di masa sekarang.

F.     Metodologi Penelitian
Penelitian ini bersumber pada data-data tertulis yan berkaitan dengan tema yang dibahas, sehingga penelitian ini becorak penelitian perpustakaan (Library research). Adapun tekhnik yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.      Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan studi kepustakaan yakni pengumpulan data baik primer maupun sekunder. Kitab primer yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah kitab hadis dan syarahnya. Sebagai langkah awal dari penelitian ini penulis menggunakan takhrij al-hadis. Hal ini perlu dilakukan guna mengetahui asal usul riwayat hadis yang diteliti. Untuk membantu pencaharian hadis-hadis yang diteliti penulis menggunakan kitab ­al-Mu’jam al-Mufahras lil alfaz al-Hadis an-Nabawi karya A.J. Wensick dan software Maktabah Syamilah.
Selain menelusuri hadis dari sumber asli, juga menelusuri hadis-hadis yang yang semakna dalam berbagai kitab, pada langkah pertama ini juga dilakukan pengumpulan data mengenai biografi para rawi dari hadis-hadis yang akan diteliti, serta pendapat para ulama kritikus hadis. Dalam hal ini penulis merujuk pada kitab-kitab tentang biografi perawi hadis seperti Tahzib at-Tahzib, Tahzib al-Kamal, serta kitab yang khusus memuat biografi sahabat seperti Usdu al-Gabah Fi Ma’rifah as-Sahabah.
2.      Analisis Data
Data-data yang diperoleh dari penelitian perpustakaan berupa sanad dan matan adalah data yang msih mentah, maka perlu diakan analisis terhadap data-data tersebut, ayitu menganalisa sanad yang mencakup persambungan sanad, biografi para periwayat dan sighat tahammul wa al-‘ada’ dan menganalisa matan yang mencakup analisa kandungan matan. Susunan lafal matan hadis yang semakna. Untuk membantu analisa tersebut diperlukan suatu langkah yang mempermudah, yaitu al-I’tibar, yakni menyertakan sanad-sanad lain untuk hadis tertentu sehingga dapat diketahui ada dan tidaknya pendukung berupa riwayat yang berstatus mutabi’ dan syahid.
Untuk mempermudah proses I’tibar, perlu dibuat skema untuk seluruh sanad hadis. Pembuatan skema ini akan mengacu pada tiga hal penting, yaitu nama-nama periwayat, seluruh jalur sanad hadis dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing rawi (tahammul wa al-‘ada’).
Langkah selanjutnya dalam menganalisis data ini adalah penelitian terhadap pribadi para periwayat, yang dalam hal ini berpijak pada kaidah keshahihan sanad yang ditentukan para ulama, yaitu penelitian terhadap keadilan dan kedhabitan, al-jarh wa al-ta’dil serta persambungan sanad.
Selanjutnya analisis matan atau materi hadis itu sendiri meliputi:
a.       Meneliti matan dengan kualitas sanad
b.      Meneliti susunan lafal matan yamg semakna
c.       Meneliti kandungan matan


G.    Sistematika Pembahasan
Untuk menjaga alur pembahasan dan mempermudah pembahasan maka penelitian ini dibagi menjadi beberapa bab dab sub bab dengan rasionalisasi pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang mencakup pembahasan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan signifikansi penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, menjelaskan tentang takhrij hadis, skema sanad, berupa i’tibar sanad yang menjelaskan jalur periwayatan hadis, serta analisis kuantitas hadis.
Bab ketiga, membahas tentang kajian sanad hadis, berupa biografi perawi hadis, kedudukan perawi hadis baik dalam urutan sanad maupun urutan periwayat, dan analisis kualitas sanad hadis.
Pada Bab keempat, membahas aspek kritik matan hadis, yang meliputi kajian kandungan matan hadis, konfirmasi dengan al-Qur’an serta relasinya dengan hadis-hadis yang se-tema, analisis bahasa, analisis historis serta kontekstualitas hadis.
Bab kelima, yaitu beisi kesimpulan dan saran penelitian.


BAB II
DATA HADIS

A.    Data Hadis
Dalam penelitian ini penulis membatasi pencarian hadis hanya dalam kitab-kitab hadis kutubu al-tis’ah. Penulis melakukan Takhrij Hadis dengan menggunakan kitab ­al-Mu’jam al-Mufahras lil alfaz al-Hadis an-Nabawi, dengan menggunakan kata kunci طلق ditemukan satu hadis dalam kitab Sunan Abu Daud. Kemudian penulis melakukan takhrij dengan menggunakan kata kunci تنكحي melalui software Maktabah Syamilah, ditemukan dua hadis dalam kitab Sunan Abu Daud dan Musnad Ahmad bin Hanbal.

B.     Redaksi Hadis
1.      Sunan Abu Daud[8]
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ السُّلَمِىُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنْ أَبِى عَمْرٍو - يَعْنِى الأَوْزَاعِىَّ - حَدَّثَنِى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِى هَذَا كَانَ بَطْنِى لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِى لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِى وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّى فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِى »
2.      Musnad Ahmad bin Hanbal[9]
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ امْرَأَةً أَتَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِى هَذَا كَانَ بَطْنِى لَهُ وِعَاءٌ وَحِجْرِى لَهُ حِوَاءٌ وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءٌ وَزَعَمَ أَبُوهُ أَنَّهُ يَنْزِعُهُ مِنِّى قَالَ « أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تُنْكَحِى ».
C.    Kuantitas Hadis
1.      Skema Sanad
Terdapat dua jalur sanad dari hadis tentang Hak Hadanah dalam Perceraian oleh anaknya. Seluruh hadis tersebut ditemukan dari kutub al-Tis’ah yang diriwayatkan oleh dua mukharrij, yakni Abu Daud dan Imam Ahmad bin Hambal.
Organization Chart
2.      Analisis Sanad
Hadis ini terdiri dari dua jalur sanad, yaitu:
a.       Jalur I
Rasulullah         Abdullah bin Amru         Syu’aib bin Muhammad    Amru bin Syu’aib      Abi Amri       Walid bin Muslim       Mahmud bin Khalid      Abu Daud.
b.      Jalur II
Rasulullah         Abdullah bin Amru         Syu’aib bin Muhammad    Amru bin Syu’aib      Abdul Malik bin Abdul Aziz       Ruwah      Ahmad bin Hanbal.


BAB III
KRITIK SANAD

A.    Redaksi Hadis
Hadis utama dalam penelitian ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud nomor 2276.[10]
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ السُّلَمِىُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنْ أَبِى عَمْرٍو - يَعْنِى الأَوْزَاعِىَّ - حَدَّثَنِى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِى هَذَا كَانَ بَطْنِى لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِى لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِى وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّى فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِى »
"Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As Sulami, telah menceritakan kepada kami Al Walid dari Abu 'Amr Al Auza'i, telah menceritakan kepadaku 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah bin 'Amr bahwa seorang wanita berkata; wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan putting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah menceraikannya dan ingin merampasnya dariku. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya; engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah."

Adapun skema sanad hadis tersebut adalah :
Nabi Muhammad SAW. Abdullah bin AmruSyu’aib bin Muhammad Amru bin Syu’aib Abdurrahman bin Amru Walid bin Muslim → Mahmud bin Khalid→  Abu Daud.

Nama periwayat
Urutan sebagai Sanad
Urutan sebagai periwayat
Abdullah bin Amru
VI
I
Syu’aib bin Muhammad
V
II
Amru bin Syu’aib
IV
III
Abdurrahman bin Amru
III
IV
Walid bin Muslim
II
V
Mahmud bin Khalid
I
VI
Abu Daud
Mukharij al-hadis
VII

B.     Penilaian Terhadap Perawi Hadis
      Untuk melihat keshahihan sebuah hadis, kaidah ilmu hadis menyatakan bahwa yang pertama kali perlu diteliti adalah sanadnya. Bila sanadnya dinyatakan shahih, barulah matan-nya bisa diperhatikan. Bila tidak, maka matannya dipandang tidak shahih lagi. Untuk menguji keshahihan sanad hadis di atas, berikut ini akan ditelusuri identitas para perawinya. Berikut ini identitas orang-orang yang meriwayatkan dari jalur tersebut :

1.      Abdullah bin Amru
            Nama lengkapnya Abdullah bin Amru bin Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Sa’id bin Sahm bin Amru bin Hashish bin Ka’ab bin La’wi. Beliau dikenal dengan nama Abdullah bin Amru As-Sahmiy, kunyahnya Abu Muhammad, abu Nashr, nasabnya al-Makkiy, al-Quraisyiy. Wafat di Thaifah pada tahun 63 H. Guru-gurunya antara lain: Abdurrahman bin Sahr, Aisyah binti Abdullah bin Utsman, Utsman bin Affan, Umar bin Khatab, dll. Sedangkan murid-muridnya adalah Abu Sufyan, Ibrahim bin Muhammad, Tsabit bin Aslam, Jabir bin Amru, Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin Amru, Abdurrahman bin Jabir, dll. Menurut Ibnu Hiban dia masuk islam sebelum ayahnya, yaitu selisih 13 tahun. Menurut adz-Dzahabi dia adalah ulama yang ahli ibadah. Sedangkan menurut Abi Hatim ar-Razi dan Ibnu Hajar al-Asqalani dia adalah seorang sahabat.[11]
2.      Syu’aib bin Muhammad
            Nama lengkapnya Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin Amru bin Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Sa’id bin Sa’d bin Sahm bin Amru bin Hashish bin Ka’ab bin La’wi. Nama masyhurnya Syu’aib bin Muhammad as-Sahmiy, nasabnya al-Qurasyiy. Guru-gurunya antara lain Ishaq bin Abdullah, Zaid bin Aslam, Sulaiman bin Yasar, Abdullah bin Amru, Mu’awiyah bin Sahr, Hasyim bin Ash, dll. Sedangkan murid-muridnya, Utsman bin Hakim, Amru bin Syu’aib, Abdurrahman bin Kharis, Tsabut bin Aslam, dll. Menurut Abu Daud, Ahmad bin Hanbal, Husain bin Ahmad Bakir dan Yahya bin Ma’in, “tsiqah”, sedangkan menurut adz-Dzahabi dan Ibnu hajar al-Asqalani “Shaduq”.[12]
3.      Amru bin Syu’aib
            Nama lengkapnya Amru bin Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin Amru bin Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Sa’id bin Sa’d bin Sahm bin Amru bin Hashish bin Ka’ab bin La’wi. Nama Msyhurnya Amru bin Syu’aib al-Qurasyiy, kunyahnya Abu Ibrahim, Abu Abdullah, nasabnya al-Madaniy, al-Qurasyiy. Wafat pada tahun 118 H di Thaif. Guru-guru adalah Anas bin Malik, Khalid bin Amin, Syu’aib bin Muhammad, Sulaiman bin Musa, Abdullah bin Abdurrahman, dll. Sedangkan murid-muridnya Ayub bin Kaisan, Ibrahim bin Ismail, Zuhair bin Muhammad, Sufyan bin Husain, Abdurrahman bin Amru, dll. Menurut ad-Darimi, Ibnu Hiban, an-Nasa’I , al-Baihaqi “tsiqah”.[13]
4.      Abdurrahman bin Amru
            Nama lengkapnya Abdurrahman bin Amru bin Yahmud, kunyahnya Abu Amru, nasabnya as-Syamiy, laqabnya Ibnu Abi Amru. Lahir pada tahun 87H  dan wafat tahun 157 di Beirut. Guru-gurunya antara lain Ishaq bin Abdullah, Ismail bin Abdullah, Daud bin Dinar, Amru bin Syu’aib, Qasim bin Muhammad, dll. Sedangkan murid-muridnya Ahmad bin Muhammad, Basyr bin Ismail, Hasan bin Yahya, Walid bin Muslim, Muhammad bin Abdurrahman, dll. Menurut al-Baihaqi, an-Naisaburi, Ahmad bin Shaleh, Ibnu Hajar al-Asqalani, dan Yahya bin Ma’in “tsiqah”. Sedangkan Ahmad bin Hanbal mendhaifkan hadisnya, namun menurut adz-Dzahabi dia adalah syikhul Islam.[14]
5.      Walid bin Muslim
            Nama lengkapnya Walid bin Muslim, kunyahnya Abu Abas, nasabnya as-Syamiy, nama masyhurnya al-Walid bin Muslim al-Qurasyiy. Lahir pada tahun 121H dan wafat pada tahun 194H di Makkah. Guru-gurunya antara lain: Abu Utsman, Ibrahim bin Muhammad, Ismail bin Rafiq, Abdurrahman bin Amru, Malik bin Anas, Laits bin Sa’d, dll. Sedangkan murid-muridnya Ahmad bin Ibrahim, Ja’far bin Muhammad, hakim bin Musa, Mahmud bin Khalid, Muhammad bin Yusuf, dll. Menurut Ibnu Hatim alr-Razi “Shalih al-hadis”, Ahmad bin Hnbal dan Ahmad bin Shaleh “tsiqah”.[15]
6.      Mahmud bin Khalid
            Nama lengkapnya Mahmud bin Khalid bin yazid, kunyahnya Abu Ali, nasabnya as-Salamiy, [16] laqabnya Ibnu Abi Khalid. Lahir pada tahun 176 H dan wafat tahun 249H. guru-gurunya antara lain: Khalid bin Yazid, Sulaiman bin Abdurrahman, Syu’aib bin Ishaq, Walid bin Muslim, Hasyim bin Basyir, Marwan bin Muhammad, dll. Sedangkan Muridnya Ismail bin Muhammad, Ja’far bin Ahmad, Sulaiman bin Ayub, Shalih bin Abdullah, Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir, dll. Menurut Abu Hatim ar-razi, Ibnu Hiban, an-Nasa’I, Ibnu hajar al-Asyqalani dan adz-Dzahabi “tsiqah”.[17]
7.      Abu Daud
            Nama lengkapnya Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amru bin Imran bin al-Azdi al-Sijistani. Beliau dilahirkan di Sijistan pada tahun 202H. Pada tahun 275H tepatnya tanggal 16 Syawal ia menghembuskan nafas terakhir. Guru-gurunya antara lain Ahmad bin Qasim, Abu Muslim, Mahmud bin Khalid,  Muhammad bin Yazid, Yahya bin Ma’in, Musa bin Ismail, dll.[18]

C.    Analisis Sanad
      Dari kajian sanad di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sanad hadis hak asuh anak dalam perceraian ini memenuhi syarat keshahihan sanad. Semua syarat keshahihan sanad telah dapat terpenuhi. Syarat-syarat keshahihan sanad ialah ketersambungan sanad (ittishal al-sanad), para perawinya kredibel (tsiqqahu al-ruwah), intelektualitas perawi (dhabtu al-ruwah). Semua rijal yang terlibat dalam periwayatan terbukti memiliki relasi sebagai guru-murid. Kredibilitas maupun intelektualitas mereka juga tidak perlu dilakukan lagi. Tidak ada seorang perawi pun yang berstatus dhaif. Tidak ada cela ('illat) pada para rijal tersebut.


BAB IV
KRITIK MATAN

A.    Redaksi Matan Hadis
      Hadis ini hanya memiliki dua redaksi hadis, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad bin Hanbal.
1.      Sunan Abu Daud[19]
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ السُّلَمِىُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنْ أَبِى عَمْرٍو - يَعْنِى الأَوْزَاعِىَّ - حَدَّثَنِى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِى هَذَا كَانَ بَطْنِى لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِى لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِى وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّى فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِى »
“Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As Sulami, telah menceritakan kepada kami Al Walid dari Abu 'Amr Al Auza'i, telah menceritakan kepadaku 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah bin 'Amr bahwa seorang wanita berkata; wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan putting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah menceraikannya dan ingin merampasnya dariku. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya; engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah.”

2.      Musnad Ahmad bin Hanbal[20]
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ امْرَأَةً أَتَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِى هَذَا كَانَ بَطْنِى لَهُ وِعَاءٌ وَحِجْرِى لَهُ حِوَاءٌ وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءٌ وَزَعَمَ أَبُوهُ أَنَّهُ يَنْزِعُهُ مِنِّى قَالَ « أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تُنْكَحِى ».
“Telah menceritakan kepada kami Rauh telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dari 'Amru bin Syu'aib dari bapaknya dari Abdullah bin 'Amru, dia berkata; bahwa ada seorang wanita datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam lalu berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, dulu perutku adalah tempat baginya, pangkuanku adalah rumah baginya, dan payudaraku adalah tempat minum baginya, tapi bapaknya ingin merebutnya dariku?" Beliau menjawab: "Kamu lebih berhak atasnya (anakmu) selama kamu belum menikah (lagi)."”

B.     Teks Hadis
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan redaksi hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, redaksi hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad bin Hanbal terdapat perbedaan lafadz sebagai berikut.
Dalam riwayat Abu Daud disebutkan:[21]
أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِى هَذَا كَانَ بَطْنِى لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِى لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِى وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّى فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِى »
“…seorang wanita berkata; wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan putting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah menceraikannya dan ingin merampasnya dariku. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya; engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah.”

Sedangkan dalam riwayat Ahmad bin Hanbal disebutkan:[22]
أَنَّ امْرَأَةً أَتَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِى هَذَا كَانَ بَطْنِى لَهُ وِعَاءٌ وَحِجْرِى لَهُ حِوَاءٌ وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءٌ وَزَعَمَ أَبُوهُ أَنَّهُ يَنْزِعُهُ مِنِّى قَالَ « أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تُنْكَحِى »
“…ada seorang wanita datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam lalu berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, dulu perutku adalah tempat baginya, pangkuanku adalah rumah baginya, dan payudaraku adalah tempat minum baginya, tapi bapaknya ingin merebutnya dariku?" Beliau menjawab: "Kamu lebih berhak atasnya (anakmu) selama kamu belum menikah (lagi)."”


C.    Kandungan Matan
1.      Analisis Bahasa
            Hadis tentang hak hadanah dalam perceraian diriwayatkan bil ma’na dengan perbedaan redaksi sebagai berikut:
1)      Kedua hadis yang diriwayatkan Abu Daud dan Ahmad bin Hanbal terdapat perbedaan urutan, namun menggunakan lafad yang sama. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud ابْنِى هَذَا كَانَ بَطْنِى لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِى لَهُ حِوَاءً , sedangkan yang diriwayat oleh Ahmad هَذَا كَانَ بَطْنِى لَهُ وِعَاءٌ وَحِجْرِى لَهُ حِوَاءٌ وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءٌ.
2)      Hadis yang riwayatkan oleh Abu Daud nomor 2276 menggunakan lafad وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِى وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّى sedangkan yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal nomor 6878 menggunakan lafad وَزَعَمَ أَبُوهُ أَنَّهُ يَنْزِعُهُ مِنِّى
            Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud menggunakan kata “al-thalaq”, sedangkan Ahmad bin Hanbal tidak menggunakan kata “al-thalaq”. Abu Daud menggunakan kata “araada” yang berarti menginginkan, berniat, menghendaki. Sedang dalam hadis Ahmad bin Hanbal menggunakan kata “za’ama” yang artinya menguasai, menginginkan, mengklaim.[23] Keduanya kata tersebut sama-sama mengindikasikan bahwa ayah dari anak tersebut menginginkan anaknya, ingin merebut anak tersebut dari ibunya.
2.      Analisis Historis
            Asbabul wurud mikro hadis ini, seperti yang telah diceritakan dalam teks hadis, yaitu ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah, dia menceritakan bahwa suaminya ingin merebut anaknya. Namun, wanita tersebut merasa bahwa dirinya lebih dibutuhkan anaknya, karena seorang ibu merupakan tempat berlindung seorang anak. Kemudian Rasulullah bersabda bahwa seorang ibu lebih berhak atas anaknya selama dia belum menikah.
            Sedangkan asbabul wurud makro hadis ini, berkaitan dengan kondisi sosial historis masyarakat Arab pada waktu itu. Di masa itu, wanita atau seorang ibu perkerjaan selalu tidak lepas dari pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah dan lain-lain. Sehingga dalam hal ini, wanita selalu berada di dalam rumah sehingga perhatiannya seorang ibu terhadap anaknya lebih besar, karean ia yang merawat dan menjaga lebih dekat dibandingkan seorang ayah. Berbeda halnya dengan zaman sekarang yang banyak anak ditinggal oleh ibunya untuk bekerja. Sehingga waktu untuk merawat dan memberikan kasih sayang kepada anaknya terkurangi.
3.      Analisis Tematik
a.       Konfirmasi dengan Ayat al-Qur’an
      Al-Qur’an tidak menjelaskan secara langsung tentang hukum hak asuh anak dalam perceraian. Namun, al-Qur’an telah menyinggung tentang keutamaan seorang ibu yang mengasuh anaknya. Seperti dalam surat al-Baqarah : 233 sebagai berikut:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُواْ أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

      Berdasarkan ayat diatas, Allah memerintahkan seorang ibu untuk menyusui anaknya. Jika seorang anak masih menyusui ibunya maka seorang ibu lebih berhak untuk mengasuh anaknya. Anak yang masih balita juga masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu, karena masa ini merupakan masa pertumbuhan si anak baik dari segi jasmani maupun kejiwaan.
      Menurut Sayyid Qutb, seorang ibu wajib menyusui anaknya, walapun anak tersebut diasuh oleh sang ibu, namun disatu sisi seorang ayah juga masih mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada anaknya, meskipun telah bercerai dengan istrinya. Jadi masing-masing pihak mempunyai kewajiban, ibu menyusui, memelihara dan merawat, sedangkan sang ayah memberika nafkah kepada ibu sebagai imbalan karena si ibu telah menyusui anaknya. Namun apabila orang tua anak, yaitu ayah dan ibu sepakat untuk menyapih atau dengan mendatangkan orang untuk menyusui si anak demi kemaslahatannya, menurut Sayyid Qutb hal ini dibolehkan. Asalkan mereka membayar upah kepada wanita yang menyusui.[24]
      Dari pemaparan Sayyid Qutb diatas, biasa ditarik kesimpulan bahwa apabila si anak masih balita atau masih menyusui ibunya, ibu lebih berhak mengasuhnya. Namun, jika sang ibu tidak sanggup untuk mengasuh anaknya, maka sang ayahmendapatkan hak asuh anaknya dengan mendatangkan seorang utuk menyusui anaknya ataupun menyapihnya jika hal itu adalah yang terbaik buat si anak.
b.      Konfirmasi dengan Hadits se-Tema
      Hadis tentang hak asuh anak setelah perceraian diatas, mengatakan bahwa seorang ibu lebih berhak atas anaknya. Hadis tersebut berlaku untuk anak yang belum baligh atau masih menyusui ibunya. Dalam hadis lain, seorang anak disuruh memilih antara bapaknya atau ibunya. Seperti dalam kasus yang terdapat dalam hadis dibawah ini.
سَمِعْتُ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا قَاعِدٌ عِنْدَهُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي وَقَدْ سَقَانِي مِنْ بِئْرِ أَبِي عِنَبَةَ وَقَدْ نَفَعَنِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَهِمَا عَلَيْهِ فَقَالَ زَوْجُهَا مَنْ يُحَاقُّنِي فِي وَلَدِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَبُوكَ وَهَذِهِ أُمُّكَ فَخُذْ بِيَدِ أَيِّهِمَا شِئْتَ فَأَخَذَ بِيَدِ أُمِّهِ فَانْطَلَقَتْ بِهِ
“aku telah mendengar seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sementara aku duduk di sisinya, kemudian ia berkata; wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa anakku, sementara ia telah membantuku mengambil air dari sumur Abu 'Inabah, dan ia telah memberiku manfaat. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Undilah anak tersebut!" kemudian suaminya berkata; siapakah yang akan menyelisihiku mengenai anakku? Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Ini adalah ayahmu dan ini adalah ibumu, gandenglah tangan salah seorang diantara mereka yang engkau kehendaki!" kemudian ia menggandengang tangan ibunya, lalu wanita tersebut pergi membawanya.” (HR. Abu Daud 1939)[25]
Hadis tersebut, menggambarkan bahwa anak dalam kasus perceraian tersebut sudah baaligh, sehingga dia bisa memilih mana yang terbaik untuknya. Sedangkan dalam kasus hadis yang menjadi kajian ini, menunjukkan bahwa anak tersebut masih menyusui ibunya, sehingga benar bahwasanya Rasulullah mengatakan bahwa ibunya lebih berhak mengasuhnya. Karena memang sudah menjadi kewajiban seorang ibu untuk menyusui anaknya hingga usia dua tahun.
Kebolehan seorang anak untuk memilih antara kedua orang tuanya juga telah dicontohkan nabi dalam sebuah hadis sebagai berikut:
“diriwayatkan dari Rafi’ bin Sinan, ia masuk Islam sementara istrinyaenggan ikut masuk islam. Istrinya kemudian datang kepada Nabi dan berkata, “dia putriku, ia sudah disapih atau seusia itu. ‘Dia putriku’ Rafi juga mengatakan hal yang sama. Nabi kemudian berkata kepada Rafi’, ‘duduklah diujung sana’ dan berkata kepada istrinya ‘duduklah diujung sana’. Kemudian Nabi menempatkan si anak tersebut diantara keduanya, setelah itu beliau berkatakepada Rafi’ dan istrinya, ‘panggillah dia’. Si putri kecil itu ternyata lebih condong kepada ibunya, lalu Nabi berdo’a ‘Ya Allah berilah ia petunjuk’ putri kecil itu kemudian condong kepada ayahnya, ia pun dibawa pergi ayahnya.”
Hadis tersebut memberikan penjelasan bahwa tidak selamanya ibu itu yang terbaik, karena dalam kasus hadis diatas ibunya adalah seorang kafir. Jika dilihat dari teks hadis tersebut seperti anak tersebut belum dapat memilih sehingga Rasulullah berdo’a agar anak tersebut diberikan hidayah untuk memilih ayahnya. Sehingga secara tidak langsung Rasulullah menginginkan ayah dari anak tersebut yang mengasuhnya. Hal ini dikarenakan rasulullah mengetahui bahwa ibu sang anak bukanlah seorang muslim.
4.      Kontekstualisasi
a.       Syarat-Syarat Mengasuh Anak
      Sebagian ahli fiqih berpendapat bahwa yang berhak atas pengasuhan itu ialah anak. Artinya pengasuh dapat dipaksakan melaksanakan pengasuhannya yang berkewajiban apabila pengasuh tidak mau melaksanakan. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa pengasuhlah yang berhak atas asuhan si anak. Pengasuh tidak dapat dipaksaan apabila dia tidak mau melaksanakannya. Dari kedua pendapat itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengasuhan itu, disamping hak dari anak asuh juga merupakan hak dari si pengasuh.[26]
      Terlepas dari itu, menurut sebagian ahli fiqh bahwa pengasuhan anak yang paling baik adalah dilakukan oleh ibu-ibu bapaknya yang masih terikat dengan tali perkawinan. Namun ketika terjadi perceraian, maka ibu lebih berhak melaksanakan pengasuhannya dari pada ayahnya. Hal ini sesuai dengan hadis yang telah dijelaskan diatas. Sedangkan urutan orang yang berhak melaksanakan pengasuhan anak, menurut mazhab Syafi’i adalah:[27]
            Pertama, apabila anak asuh mempunyai kerabat laki-laki dan perempuan, maka didahulukan ibu dari bapak. Kemudian ibu dari ibu dan seterusnya keatas dengan syarat anak asuh dan pengasuh ada hubungan waris mewarisi. Apabila ibu, dari ibu dan seterusnya keatas tidak ada, maka bapak yang berhak melaksanakan pengasuhan, kemudian ibu dari bapak dan seterusnya keatas dengan syarat ada hubungan waris mewarisi.
            Kedua, apabila anak asuh hanya memiliki keluarga perempuan saja, maka didahulukan ibu, kemudian ibu dari ibu dan seterusnya keatas, kemudian ibu dari bapak dan seterusnya keatas, kemudian saudara perempuan, kemudian saudara perempuan ibu, kemudian anak perempuan saudara, kemudian saudara perempuan bapak, kemudian anak perempuan dari saudara perempuan ibu, kemudian anak perempuan dari saudara bapak yang laki-laki, kemudian anak perempuan dari saudara ibu yang laki-laki dengan ketentuan: didahulukan yang sekandung dari yang bukan sekandung dan didahulukan yang sebapak dari yang seibu.
            Ketiga, apabila anak asuh hanya mempunyai keluarga yang laki-laki saja, maka didahulukan bapak, kemudian kakek, kemudian saudara laki-laki yang sekandung, kemudian saudara laki-laki yang seayah, kemudian saudara laki-laki yang sekandung atau sebapak, kemudian saudara laki-laki dari bapak yang sekandung atau sebapak, kemudian anak dari saudara laki-laki dari bapak.

b.      Hak Ibu Untuk Mengasuh Anak dan Gugurnya Hak Asuh
      Dalam kasus perceraian, jika anak masih berusia dibawah tujuh tahun, maka seorang ibu lebih berhak atas hak asuh anaknya. Hal ini berdasarkan beberapa alasan, seperti bahwa kasih sayang seorang ibu pada anak melebihi kasih sayang ayah, karena perut ibu menjadi tempatnya, susunya menjadi minumannya, dan dekapannya menjadi naungannya. Ibu lebih mampu mengasuh anak melebihi ayah karena ia selalu berada dirumah. Ibu mengasuh anak secara langsung, sementara ayah tidak. Ayah hanya menyerahkan urusan anak kepada istrinya (ibu tiri si anak). Untuk itu, ibu kandung lebih berhak mengasuh anaknya dari pada ibu tiri.[28]
      Terlepas dari itu, seorang juga hendaknya memenuhi beberapa persyaratan agar memiliki hak pengasuhan anak. Syarat-syarat yang dimaksud sebagai berikut:[29]
1)      Berakal
2)      ‘adalah (lurus agamanya)
3)      Islam
4)      Status merdeka
5)      Menyusui (seorang ibu harus menyusui anaknya, berlaku untuk anak yang masih menyusui)
6)      Mampu mengasuh anak
7)      Dewasa
8)      Tidak lalai terhadap anaknya
9)      Tidak memiliki suami (belum menikah lagi)
      Seperti halnya yang telah disebutkan di dalam hadis, bahwa “engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah”. Menurut jumhur Ulama, hak hadanah seorang ibu akan gugur ketika ia menikah lagi. Konsep yang dipegang erat jumhur ulama ini memiliki alasan bahwa jika ibu menikah lagi dengan orang lain yang bukan mahramnya, maka ia akan melirik anak itu dengan kemarahan, memendam rasa benci dan berburuk sangka pada ibunya, karena disangka bahwa ibu akan memberi makan anak itu dengan uangnya, bisa-bisa perbedaan antara ibu dan suaminya menjadi sangat keras dan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, seperti perceraian.[30]
      Berbeda halnya dengan Ibnu Hazm yang berpendapat bahwa ketika seorang ibu menikah lagi tidak mengugurkan hak asuh anaknya, karena menurutnya kasih sayang ibu lebih baik dari seorang ayah. Kemudian, Ibnu Hazm pun menyandarkan kepada beberapa kejadian yang telah menimpa Nabi Muhammad SAW sendiri dan para sahabatnya, diantaranya: Pertama, Anas bin Malik yang masih tetap diasuh oleh ibunya, padahal ibunya telah menikah kembali dengan orang lain, yaitu Abu Talhah. Kedua, Ummu Salmah yang menikah dengan Nabi Muhammad SAW. dan anaknya masih tetap berada dalam tanggungannya (diasuh olehnya). Ketiga, anak perempuan Hamzah yang masih diasuh oleh bibinya sesuai ketetapan Nabi Muhammad SAW., padahal bibinya telah menikah kembali.[31]
      Selain itu, ketika anak sudah menginjak dewasa, maka hak hadanah (hak asuh anak) seorang ibu akan gugur. Karena pada saat itu, anak sudah bisa menentukan ingin bersama ayah atau ibunya. Sehingga anak memiliki hak untuk memilih.
D.    Analisis General
            Anak merupakan amanah yang diberikan Tuhan kepada orang tua, orang tua hendak merawat, mengasuh, mendidiknya dengan penuh kasih sayang. Ibu dan ayah mempunyai tanggung jawab masing-masing dalam mengasuh anaknya. Ketika ayah dan ibu anak melakukan perceraian, hak asuh anak seringkali diperebutkan. Jika anak sudah dewa ia bisa menentukan pilihan untuk bersama ibu atau ayahnya. Namun jika sang anak masih kecil, ibu lebih berhak untuk mengasuh anaknya. Seperti halnya yang telah dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadis yang sudah kita bahas diatas, bahwasanya seorang ibu lebih berhak atas anaknya dikarenakan kasih sayang seorang ibu lebih besar dari seorang ayah. Perut seorang ibu merupakan tempatnya, susunya adalah minumannya serta pangkuannya menjadi naungannya. Ibu juga lebih sering berada dirumah daripada ayah, sehingga ibu lebih dekat dengan anak.
            Namun, melihat realitas pada saat ini, khususnya di negara Indonesia sendiri. Banyak kasus kekerasan yang justru dilakukan oleh seorang ibu, sehingga dekapannya bukanlah sebuah naungan lagi. Bahkan sebagian dari mereka membunuh anaknya sendiri, anak menjadi pelampiasan kemarahannya. Komisi Perlindungan Anak (KPI) mendapatkan laporan bahwa dari 702 kasus kekerasan dibidang keluarga dan pengasuhan alternatife, 55 persen adalah kasus kekerasan yang dilakukan seorang ibu terhadap anaknya. Berdasarkan catatan KPAI, faktor penyebab pelanggaran hak anak dalam keluarga yang tertinggi adalah akses bertemu orang tua yang, kemudian disusul perebutan hak asuh, nafkah, dan penculikan anak.[32] Bahkan kasus kekerasan ibu terhadap anak menjadi salah satu kasus yang menonjol di tahun 2016. Faktor perceraian turut memicu kekerasan terhadap anak. [33] keluarga yang berantakan menimbulkan dampak buruk pada anak.
Berbagai problem diatas, mengisyaratkan bahwa tidak selamanya ibu lebih berhak atas hak asuh anak. Dalam memutuskan hak asuh anak yang masih dibawah umur, maka kita harus melihat kemaslahatan seorang anak. Jika memang sang ibu lebih baik dan lebih menyayangi anaknya, maka ibu yang lebih baik mendapatkan hak asuh anak. Namun, jika sang ayah yang lebih memberikan kebaikan kepada sang anak, maka demi kemaslahatan anak ayah berhak untuk mengasuhnya.


BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari kajian sanad tentang hak hadanah dalam perceraian, dapat ditarik kesimpulan bahwa sanad hadis tersebut adalah memenuhi syarat keshahihan sanad. Syarat-syarat keshahihan sanad ialah ketersambungan sanad (ittishal al-sanad), para perawinya kredibel (tsiqqahu al-ruwah), intelektualitas perawi (dhabtu al-ruwah). Semua rijal yang terlibat dalam periwayatan terbukti memiliki relasi sebagai guru-murid. Kredibilitas maupun intelektualitas mereka juga tidak perlu dilakukan lagi. Tidak ada seorang perawi pun yang berstatus dhaif. Tidak ada cela ('illat) pada para rijal tersebut. Selanjutnya dari sisi matan, hadis tersebut menunjukkan ciri-ciri pernyataan dari Rasul karena memiliki sanad yang cukup dan tidak ada kata-kata yang gharib. Hadis yang diteiliti juga tidak terjadi pertentangan dengan hadis lain. Selain itu, ditemukan beberapa hadis tematik yang menjadikan penjelasan terhadap hadis tersebut saling menguatkan dan memperjelas. Karena hadis ini terbukti shahih dari sisi sanad dan matan, maka hadis ini dapat digunakan sebagai hujjah atau diyakini kebenarannya.
Dari kajian terhadap matan hadis, hak hadanah dalam perceraian lebih berhak diberikan kepada seorang ibu dengan beberapa syarat. Salah satunya adalah seorang ibu harus menyusui, merawat, menjaga serta mendidik anaknya dengan baik. Menurut sebagin jumhur ulama seorang ibu akan gugur hak hadanahnya ketika ia sudah menikahn lagi. Namun, jika seorang ibu tidak memenuhi syarat dan sang ayah lebih baik dari pada ibu, maka ayah berhak untuk mengasuh anaknya.
B.     Saran
Bagi pengkaji selanjutnya, untuk mendapatkan penjelasan yang lebih komprehensif maka disarankan untuk memfokuskan penelitian pada aspek pemaknaan matan secara mendalam. Hal ini dikarenakan penelitian terhadap kualitas sanad dan matan mengeni hadis hak hadanah dalam perceraian dirasa cukup. Pemahaman terhadap matan akan lebih menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat secara langsung.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud. Sunan Abu Daud.  Beirut : Dar al-kutub al-ilmiyah. 2011.
Aqna, Muhammad Izzul. Pemikiran Ibnu Hazm tentang Tidak Gugurnya Hak Hadanah Bagi Ibu yang Sudah Menikah Kembali dan Relevansinya Terhadap Konteks Indonesia. Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 2015.
al-Asqalany, Ibnu Hajar. Tahdhib al-Tahdhib fi Rijal al-Hadith. Beirut: Dar al-Fikr. 1994.
As-Suwailim, Wafa binti Abdul Aziz. Fikih Ummahat: Himpunan Hukum Islam Khusus Ibu. terj. Umar Mujtahid. Jakarta: Ummul Qura. 2013.
Asy-Syaibani, Ahmad bin Hanbal. Musnad Imam Ahmad.  Beirut : Dar al-kutub al-ilmiyah. 2008.
Fathurrahman, Moh. Sitta. Hak Asuh Atas Anak (Hadhanah) Antara HUkum Islam dan Hukum Adat Setelah Terjadi Perceraian Antara Suami dan Istri. Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 2008.
Ismail, Mahyudin. Hak Asuh Anak Akibat Perceraian (Studi Komparatif Hukum Islam dan Hukum Positif). Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 2011.
Mukhtar, Kamal. Asas asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Bulan Bintang. 1993.                  
Kamus al-Munawwir.pdf
Software Gawamee al-Kaleem
Sayyid Qutb, Terjemah Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an, pdf.
Software Lidwa
http://news.liputan6.com/read/2685886/kpai-55-persen-pelanggaran-hak-anak-dilakukan-ibu?siteName=liputan6 diakses pada tanggal 1 Januari 2017.
http://pilkada.liputan6.com/read/2688576/jurus-anies-baswedan-cegah-kekerasan-terhadap-anak-di-jakarta diakses pada tanggal 1 Januari 2017.






[1] Kamal Mukhtar, Asas asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Bulan Bintang, 1993), hal. 137.
[2] Kamal Mukhtar, Asas asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hlm. 140.
[5] Mahyudin Ismail, Hak Asuh Anak Akibat Perceraian (Studi Komparatif Hukum Islam dan Hukum Positif), Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2011.
[6] Moh. Sitta Fathurrohman, Hak Asuh Atas Anak (Hadhanah) Antara HUkum Islam dan Hukum Adat Setelah Terjadi Perceraian Antara Suami dan Istri, Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2008.
[7] Muhamad Izzul Aqna, Pemikiran Ibnu Hazm tentang Tidak Gugurnya Hak Hadanah Bagi Ibu yang Sudah Menikah Kembali dan Relevansinya Terhadap Konteks Indonesia, Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2015.
[8] Abu Daud, Sunan Abu Daud, ( Beirut : Dar al-kutub al-ilmiyah, 2011), hlm. 263.
[9] Ahmad bin Hambal Asy-Syaibani, Musnad Imam Ahmad, ( Beirut : Dar al-kutub al-ilmiyah, 2008), hlm, 587.
[10] Abu Daud, Sunan Abu Daud, ( Beirut : Dar al-kutub al-ilmiyah, 2011), hlm. 263.
[11] Ibnu Hajar al-Asqalany, Tahdhib al-Tahdhib fi Rijal al-Hadith, jld. 3,  (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004), hal. 586.
[12] Ibnu Hajar al-Asqalany, Tahdhib al-Tahdhib fi Rijal al-Hadith, jld. 3, hal. 179.
[13] Ibnu Hajar al-Asqalany, Tahdhib al-Tahdhib fi Rijal al-Hadith, jld. 5, hal. 43.
[14] Ibnu Hajar al-Asqalany, Tahdhib al-Tahdhib fi Rijal al-Hadith, jld. 4, hal. 102.
[15] Ibnu Hajar al-Asqalany, Tahdhib al-Tahdhib fi Rijal al-Hadith, jld. 6, hal. 738
[16] Ibnu Hajar al-Asqalany, Tahdhib al-Tahdhib fi Rijal al-Hadith, jld. 10, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hal. 59.
[17] Software Gawamee al-Kaleem
[18] Software Gawamee al-Kaleem
[19] Abu Daud, Sunan Abu Daud, ( Beirut : Dar al-kutub al-ilmiyah, 2011), hlm. 263.
[20] Ahmad bin Hambal Asy-Syaibani, Musnad Imam Ahmad, ( Beirut : Dar al-kutub al-ilmiyah, 2008), hlm, 587.
[21] Abu Daud, Sunan Abu Daud, ( Beirut : Dar al-kutub al-ilmiyah, 2011), hlm. 263.
[22] Ahmad bin Hambal Asy-Syaibani, Musnad Imam Ahmad, ( Beirut : Dar al-kutub al-ilmiyah, 2008), hlm, 587.
[23] Kamus al-Munawwir.pdf
                [24] Sayyid Qutb, Terjemah Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an, pdf.         
[25] Software Lidwa
[26] Kamal Mukhtar, Asas asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hlm. 140.
[27] Kamal Mukhtar, Asas asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hlm. 141.
[28] Wafa binti Abdul Aziz as-Suwailim, Fikih Ummahat: Himpunan Hukum Islam Khusus Ibu, terj. Umar Mujtahid, (Jakarta: Ummul Qura, 2013), hal. 340.
[29] Wafa binti Abdul Aziz as-Suwailim, Fikih Ummahat: Himpunan Hukum Islam Khusus Ibu, hlm. 341.
[30] Muhamad Izzul Aqna, Pemikiran Ibnu Hazm tentang Tidak Gugurnya Hak Hadanah Bagi Ibu yang Sudah Menikah Kembali dan Relevansinya Terhadap Konteks Indonesia, 144.
[31] Muhamad Izzul Aqna, Pemikiran Ibnu Hazm tentang Tidak Gugurnya Hak Hadanah Bagi Ibu yang Sudah Menikah Kembali dan Relevansinya Terhadap Konteks Indonesia, hlm. 145.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar