Sabtu, 30 Mei 2015

hubungan Islam, HAM dan Barat

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam adalah salah satu agama yang mengatur segala aspek kehidupan umat manusia, salah satunya adalah aspek social. Baik mencakup hubungan antar umat Islam maupun dengan umat agama yang lain. Dalam kehidupan social manusia tak lepas dari interaksi dengan manusia lain. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan suatu anugerah yang dimiliki manusia untuk melindungi hak-hak individu dalam berinteraksi social.
Oleh karena itu, kosep tentang HAM ramai diperbincangkan di berbagai belahan dunia. Sehingga menghasilkan berbagai sudut pandang dalam memahami HAM. Dalam hal ini Islam pun mempunyai sudut pandang dalam merepresentasikan HAM. Hal ini mendapat tanggapan dari dunia Barat yang juga menjadi bagian dari pelopor HAM.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana HAM dalam perspektif Islam?
2.      Bagaimana HAM dalam perspektif Barat?
3.      Bagaimana hubungan Islam, HAM, dan Barat?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    HAM dalam Perspektif Barat
Hak-hak asasi manusia sesungguhnya merupakan bagian dari hakikat kemanusiaan yang paling intrinsic, maka sejarah pertumbuhan konsep-konsepnya dan perjuangan penegakkannya sekaligus menyatu dengan sejarah peradaban manusia itu sendiri.
Konsepsi HAM di kalangan sejarawan Eropa tumbuh dari konsep hak (right) pada yurisprodensi Romawi, kemudian meluas pada etika via teori hukum alam (natural law). Konsep HAM dan demokrasi sebenarnya pertama-tama muncul buakn sebagai reaksi atas absolutism negara melainkan sebagai akibat logis dari lahirnya negara-negara kebangsaan. Tonggak-tonggak sosialisasi kemunculan atau perkembangan HAM adalah sebagi berikut:
1.      Munculnya perjanjian Agung (Magna Charta) di Inggris pada 15 Juni 1215, sebagai bagian dari pemberontakan para Baron terhadap Raja John (saudara Raja Richard Berhati Singa, seorang pemimpin tentara salib). Isi pokok dokumen itu ialah hendaknya raja tidak melakukan pelanggaran terhadap hak miliki dan kebebasan pribadi seorang pun dari rakyat (sebenarnya cukup ironis bahwa pendorong pemberontakan para baron  itu sendiri antara ialah dikenakannya pajak yang sangat besar, dan dipaksakannya para baron untuk memperbolehkan anak-anak perempuan mereka kawin dengan rakyat biasa). Selain itu, Magna Charta juga memuat penegasan bahwa tiada seorang pun boleh ditangkap atau dipenjarakan atau diusir dari negerinya atau dibinasakan tanpa secara sah diadili oleh hakim-hakim yang sederajat dengannya.
2.      Keluarnya Bill of Rights pada tahun 1628, yang berisi penegasan tentang pembatasan kekuasaaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan kekuasaan terhadap siapapun, atau untuk memenjarakan, menyiksa, dan mengirimkan tentara kepada siapapun, tanpa dasar hukum.
3.      Deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat pada 6 Juli 1776,  yang memuat penegasan bahwa setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan dengan hak untuk hidup dan mengejar kebahagian, serta keharusan mengganti pemerintahan yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan dasar tersebut.
4.      Deklarasi Hak-hak Asasi Mnusia dan Warga Negara (Declaration des Droits de I’Homme et du Citoyen/ Declaration of the Rights of Man and of the citizen) dari Perancis pada 4 Agustus 1789, dengan titik berat kepada lima hak asasi pemilikan harta , kebebasan, persamaan, keamanan, dan perlawanan terhadap penindasan.
5.      Deklarasi Universal tentang hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights/ UDHR), pada 10 Desember 1948, yang memuat pokok-pokok tentang kebebasan, persamaan, pemilikan harta, dan hak-hak dalam perkawinan, pendidikan, hak kerja, dan kebebasab beragama.[1]
Dari perkembangan historis diatas, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan filosofis yang tajam, baik dari segi nilai maupun orientasi. Di Inggris menekanakn pada oembatasan raja, di Amerika Serikat mengutamakan kebebasan individu, di Perancis memprioritaskan egalitarianism persamaan kedudukan dihadapan hukum, di Rusia tidak diperkenalkan hak individu, tetapi hanya mengakui hak social dan kolektif.[2]
UDHR/DUHAM dipandang sebagai puncak konseptualitas HAM sejagat, apa yang tertuang didalamnya dilihat dari perspektif perkembangan generasi HAM adalaha termasuk kedalam generasi pertama dari empat generasi HAM yang ada.
Generasi HAM kedua menyusul pada keinginan yang kuat masyarakat global untuk memberikan kepastian terhadap masa depan HAM yang melebar pada aspek social, ekeonomi dan budaya. Generasi HAM yang ketiga merupakan perkembangan pemikiran HAM yang mengalami peningkatan kea rah kesatupaduan antara hak-hak ekonomi, social, budaya, politik dan hukum dalam “satu keranjang” yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan.
Sebagai sebuah proses dialektika, pemikiran HAM akhirnya memasuki tahap penyempurnaan sampai munculnya generasi HAM keempat yang mengkritik peranan negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi, sehingga menimbulkan dampak negative seperti diabaikannya berbagai aspek kesejahteraan masyarakat. Munculnya generasi ini dipelopori oleh negara-negara di kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi Ham yang dikenal dengan Declaration of the Basic of Asia People and Government. [3]
B.     HAM dalam Perspektif Islam
HAM menurut Islam adalah hak yang tidak semena-mena berupa aturan yang dibuat oleh manusia dalam menjaga tatanan masyarakat yang adil dan berperikemanusiaan, tetapi lebih dari itu merupakan sesuatu yang melekat pada diri manusia sejak dilahirkan (fitrah manusia). Islam menempatkan manusia sejajar dengan manusia lainnya. Menurut ajaran Islam, perbedaan seseorang dengan orang lainnya terjadi bukan karena haknya sebagai seorang manusia, melainkan disebabkan oleh keimanan dan kesalehannya. Namun hal itu tidak membedakan manusia secara social.[4]
Dalam totalitas Islam, kewajiban manusia kepada Allah mencakup juga kewajibannya kepada setiap individu yang lain. Maka secara paradox hak-hak setiap individu itu dilindungi oleh segala kewajiban di bawah hukum ilahi. Hal ini menunjukkan bahwa menurut pandangan Islam, konsep HAM bukan hasil evolusi apapun dari pemikiran manusia, namun merupakan hasil dari wahyu ilahi yang telah diturunkan melalui NAbi dan Rasul dari sejak permulaan eksistensi manusia di bumi.[5]
Sejumlah sejarawan Islam telah membuktikan bahwa kehadiran Muhammad sebagai pembawa ajaran Islam terakhir merupakan pembebasan manusia dari berbagai bentuk penindasan hak asasi manusia. Tradisi budaya jahiliyah yang melegitimasi perdudakan, diskriminasi rasial, diskriminasi terhadap wanita atas nama iman dalam suatu keyakian yang keliru dikikis oleh Islam.[6]
Hasbi ash-Shiddieqy sebagaimana dikuti Ahmad Syafi’I Ma’arif, menjelaskan prinsip dasar tentang HAM dalam Islam, yaitu:
1.      Hak hidup dan keselamatan diri, serta untuk memperoleh perlindungan diri, kehormatan dan harta.
2.      Hak merdeka beragama dan menganut sesuatu paham.
3.      Hak mempunyai hak milik dan fungsi social dari hak milik itu tanpa ada diskriminasi.
4.      Hak memilih pekerjaaan yang sesuai bagi kemanusiaan.
5.      Hak kemerdekaan berpikir, mengeluarksn pendapat, dan hak memperoleh pengajaran dan pendidikan.
Perkembangan sejarah HAM dalam Islam pada akhir-akhir ini, dapat dilihat dalam berbagi upaya sebagian ahli, sarjana, pemuka agama atau intelektual Muslim dimulai sejak pertemuan Abu Dhabi pada tahun 1977 yang menghasilkan apa yang disebut sebagai “Deklarasi Islam Universal Tentang Hak Asasi Manusia” pada awal 80-an.
Deklarasi hak-hak asasi manusia menegaskan bahwa Islam telah memberikan suatu peraturan ideal tentang hak-hak asasi manusia kepada umat manusia empat belas abad yang lalu. Hak-hak tersebut dimaksudkan untuk menganugerahi manusia kehormatan dan martabat serta menghapuskan pemerasan, penindasan dan ketidak adilan. Hak-hak asasi manusia dalam Islam bersumber dari suatu kepercayaan bahwa Allah, dan hanya Allah pemberi hukum dan sumber dari segala hak-hak asasi manusia. Karena bersumber dari Tuhan, maka tak seorang penguasa pun, pemerintah, majelis atau ahli yang bisa membatasi atau melanggar dengan dosa apapun hak-hak asasi manusia yang telah dianugerahkan Tuhan. Demikian pula hak-hak tersebut tidak boelh dilepaskan dari manusia.[7]
Kalau kita mencermati sevara seksama petunjuk al-Qur’an sebagai basis keuniversalan pelaksanaan ajaran Islam maka Nampak jelas bahwa hak asasi manusia sangat terkait dengan hukum-hukum Allah, artinya apabila manusia menjalankan perintah-perintah Allah maka dengan sendirinya hak-hak asasi manusia akan terlindungi, akan tetapi bila terjadi sebaliknya maka yang terjadi adalah pelanggaran tentang hak-hak asasi manusia. Hal ini dapat dilihat beberapa ayat al-Qur’an yang menegaskan tentang kewajiban manusia untuk melindungi dan menjaga hak-hak orang lain, seperti hak hidup yang tercermin dalam surat al-Baqarah ayat 178.
Ayat tersebut memberikan pesan tentang jaminan kelangsungan hidup manusia dengan diterapkannya hukum qishas. Secara normative penerapan hukum qishas dalam ajaran agama Islam tidak sekedar berorientasi kepada pelaku (pembunuh), akan tetapi juga terhadap oranglain yang tidak melakukan pembunuhan, artinya dengan melihat sangsi yang diterapkan kepada pelaku (pembunuh) maka akan membuka kesadaran bagi orang lain untuk tidak melakuakn pembunuhan. Kriteria yang ditegaskan dalam al-Qur’an dengan istilah “illa bi Alhaq” sebagaiman yang ditegaskan dalam surat al-An’am ayat 151 memberikan batasan tentangketatnya persyaratan dalam pemberlakuan hukum qishas, artinya tidak sembarang orang dapat diperbolehkan melakukan pembunuhan tanpa adanya sebab yang jelas.
C.     Hubungan Islam, HAM, dan Barat
Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk mulia yang diberikan potensi keunggulan dibandingkan makhluk Tuhan lainnya. Perkembangan wacana global tentang HAM memberikan penilaian tersendiri bagi posisi Islam. HAM perspektif Barat mengalami kritik tajam dari kalangan Muslim. Diyakini bahwa HAM versi Barat cenderung emphirical and intellectual minded, sementara HAM dalam perspektif Islam bersandar pada otoritas transcendental, wahyu Tuhan.
Islam dan Barat, menurut A.K Brohi, sebenarnya mengupayakan tercapainya pemeliharaan HAM dan kemerdekaan fundamental individu dalam masyarakat, namun perbedaan terletak pada pendekatan yang dipergunakan.
Sengitnya perbincangan dan kontroversi dalam persoalan hubungan Islam dengan HAM disebabkan oleh beberapa alasan spesifik sebagi berikut.
Pertama, HAM yang mendapatkan konotasi dan makna konkretnya dalam Deklarasi HAM PBB, diakui atau tidak, didasarkan pada asumsi pokok yang dibelakangi berdirinya paham sekulerisme. Karena bias sekularismenya itu, penerimaan gagasan modern tentu saja menjadi persoalan, terutama bagi yang berkeyakinan bahwa Islamadalah agama yang kaffah; Islam bukan hanya akidah, melainkan juga syari’ah. Atau, dalam pernyataan yang lebih politis, Islam bukan hanya agama (din), melainkan juga negara (daulah). Dengan keyakinan seperti itu, menerima sekulerisme berarti mereduksi Islam atau menghambat pengamalan Islam secara menyeluruh.
Kedua, kontroversi hubungan Islam dan HAM juga terkait dengan perbedaan dan pertentangan antara HAM dengan syari’ah Islam, atau lebih tepatnya tafsiran tradisional terhadap syari;ah yang menawarkan sistem peraturan normative yang komprehensif yang dapat diterapkan secara politis. Ketegangan konkret antara dua aturan normatif tersebut terutama terdapat di sekitar persoalan kesetaraan gender dan kebebasan religious. Walaupun mengakui keabsahan personalitas perempuan, syari’ah tradisional tidak mencakup prinsip kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam persoalan perkawinan, kehidupan keluarga, perceraian dan pewarisan. Dalam kriteria HAM modern, aturan seperti itu jelas bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Disamping masalah kesetaraan gender dan kebebasan religious, hukum criminal syari’ah juga mengakui beberapa bentuk hukuman jasmaniah semacam cambukan dan amputasi tubuh yang dari sudut pandang HAM modern adalah hukuman yang kejam dan merendahkan martabat.
Ketiga, perdebatan dalam masalah hubungan Islam dan HAM juga tidak lepas dari hubungan konfliktual dewasa ini antara dunia Islam dan Barat. Sulit dipungkiri bahwa hubungan antara Islam dan Barat selama ini masih sering diwarnainsikap saling mencurigai dan memusuhi. Di satu sisi, menyusul berakhirnya Perang Dingin, ada kecenderungan kuat di Barat untuk melihat dan memposisikan Islam sebagai musuh dan ancaman baru menggantiakan komunisme yang sudah berhasil diruntuhkan. Di sisi lain, dunia Islam hingga masih mewarisi luka dan trauma yang sulit dihapus akibat imperialism dan kolonialisme Barat yang cukup lamamereka derita. Akibat paling nyata dari luka dan trauma itu adalah kecenderungan dan bangkitnya perlawanan terhadap Barat.
Dari ketiga alasan tersebut, kontroversi antara Islam, HAM dan Barat itu, berasal dari kesalahpahaman salah satu pihak dalam memahami pihak lain.  Hal tersebut memunculkan berbagai sudut pandang tentang hubungan Islam dengan HAM.
Menurut Supriyanto Abdi, setidaknya terdapat tiga varian pandangan tentang hubungan Islam dan HAM, baik yang dikemukakan oleh para sarjana Barat atau pemikir Muslim sendiri, yakni:
1.      Menegaskan bahwa Isalm tidak sesuai dengan gagasan dan konsepsi HAM modern.
2.      Menyatakan bahwa Islam menerima semangat kemanusiaan HAM modern, tetapi pada saat yang sama, menolak landasan sekulernya dan menggantinya dengan landasan Islami.
3.      Menegaskan bahwa HAM modern adalah khazanah kemanusian universal dan Islam (bisa dan seharusnya) memberikan landasan normative yang sangat kuat terhadapnya.
Pandangan pertama berangkat dari rasa esensialisme relativisme kultural. Esensialisme menunjukkan kepada paham yang menegaskan bahwa suatu gagasan atau konsep pada dasarnya mengakar atau bersumber pada suatu sistem nilai, tradisi, atau peradaban tertentu. Sedangkan relativisme kultural adalah paham yang berkeyakinan bahwa satu gagasan yang lahir atau terkait dengan sistem nilai tertentu tidak bisa berlaku atau tidak bisa diterapkan dalam masyarakat dengan sistem nilai yang berbeda. Dikalangan pemikir Barat termasuk di dalamnya Samuel P. Hungtionton serta Pollis dan Schwab. Menurutnya keduanya, karena secara historis HAM lahir di Eropa dan Barat, HAM pada dasarnya terkait dan terbatas pada konsep-konsep kultural.[8]
Pandang yang kedua lebih dikenal dengan islamisasi HAM. Pandangan ini muncul sebagai reaksi “gagal”-nya HAM versi Barat dalam mengakomodasikan kepentingan terbesar masyarakat Muslim. Tidak kalah pentingnya, gerakan ini merupakan alternative yang diyakini mampu menjembatani pemikiran HAM dalam perspektif Islam. Dalam perkembangan yang signifikanberhasil dirumuskan piagam deklarasi Universal HAM dalam perspektif Islam. Di antara pemikir Muslim yang termasuk dalam pandangan tersebut di antaranya Abul A’la al-Maududi.[9]
Ketiga menegaskan bahwa HAM modern adalah khazanah kemanusian universal dan Islam (bisa dan seharusnya) memberikan landasan normative yang sangat kuat terhadapnya. Berbeda dengan dua pandangan sebelumnya, varian ketiga ini menegaskan bahwa universilitas HAM sebagai khazanah kemanusiaan yang landasan normative dan filosofisnya bisa dilacak dan dijumpai dalam berbagai sistem niali dan tradisi agama, termasuk Islam didalamnya. Yang termasuk berpandangn demikian di antaranya adalah Abdullah Ahmed an-Naim.[10]
D.    Problematika yang Muncul
Kontroversi antara Islam dan Barat masih berlanjut sampai sekarang, sehingga muncul berbagai masalah antara keduanya. Salah satunya adalah kasus diskriminasi terhadap kaum minoritas, baik minoritas Islam di negara non-Islam maupun minoritas non-Islam di negara Islam.
Kaum minoritas Islam di Perancis merupakan salah satu kasus diskriminasi terhadap kaum minoritas Islam. Sebagai salah satu contohnya pelarangan menggumakan jilbab oleh pemerintah Perancis pada tahun 2004 yang hingga kini masih berlanjut. Selamnjutnya, di Prancis, pemerintah melarang umat Islam mendirikan Masjid, padahal kaum muslimin Perancis adalah warga muslim terbanyak di Eropa sekitar 5-6 juta orang namun tak satupun memiliki wakil di parlemen. Bahkan tak seorangpun muslim Perancis yang memiliki jabatan di pemerintahan, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah. Karena itu kebijakan-kebijakan pemerintah cenderung tidak adil bagi warga muslim di Negara itu.[11]
Kejadian serupa juga dialami oleh orang-orang Kristen yang hidup di Irak. Sebagai kaum minoritas, umat Kristen tidak bisa berbuat banyak untuk mencari perlindungan, keamanan, apalagi menyangkut masalah kepercayaan. Umat Kristen dikejar-kejar oleh kaum mayoritas. Misalnya, terjadipembunuhan besar-besaran di Gereja Our Lady of Salvation di Baghdad pada Oktober tahun 2012, dan di Gereja Koptik yang ada di Alexandria pada saat perayaan Tahun Baru. Dua kejadian di atassemakin memperbesar perasaan takut di kalangan orang-orang Kristen, bahwa sedang terjadi penganiayaan modern dengan tujuan mengosongkan tanah Arab dari orang-orang Kristen. Saat ini, jumlah orang Kristen di negara-negara Timur Tengah paling hanya tinggal 15 juta dibandingkan orang-orang Muslim yang berjumlah 300 juta.[12]
Kasus yang baru-baru ini muncul adalah kasus kekerasan atau diskriminasi terhadap kaum rohinyia di Myanmar. Tindakan ini dilakukan oleh seorang biksu yang bernama Ashin Wirathu yang menunjukkan permusuhan terhadap kaum minoritas Muslim di Myanmar. Biksu Ashin melakuakn pembantaian terhadap kaum muslim di Myanmar yang merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Hal yang memicu ketegangan atau penganiayaan adalah ketika pada 28 Mei 2012 tiga orang pria Muslim membunuh dan memperkosa seorang wanita Budha. Peristiwa itu yang juga mengakibatkan kerusuhan di negara bagian Rakhine. Menyebabkan pasukan keamanan membumihanguskan rumah sekitar 75.000 Muslim Rohingya, dan menangkap sejumlah besar Rohingya Muslim laki-laki. Jika yang melakukan kekerasan hanya tiga orang muslim, kenapa yang menjadi korban seluruh umat muslim rohinya?
Hubungan antara sesama warga negara, yang Muslim dan yang non-Muslim, sepenuhnya ditegakkan atas asas-asas toleransi, keadilan, kebajikan, dan kasih sayang. Namun, sampai sekarang asas-asas ini masih dalam dambaan dan harapan semua masyarakat modern untuk mewujudkannya. Di tengah hiruk pikuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peradaban manusia, asas-asas ini terus diupayakan, demi menjaga keseimbangan dalam kehidupan umat manusia.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
HAM atau Hak Asasi Manusia adalah sebuah anugerah yang diinginkan oleh setiap individu. Konsep tentang HAM seharusnya tidak dipermasalahkan lagi, namun yang seharusnya dipermasalahkan adalah realisasi dari HAM itu sendiri. Di berbagai belahan dunia yang menjadi pelopor HAM, masih terjadi banyak pelangaran-pelangaran yang tidak sedikit. Salah satunya adalah kekerasan terhadap kaum minoritas, baik minoritas muslim maupun non-muslim. Hal ini dikarenakan masalah di masa lalu yang masih membekas di masing-masing pihak. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran tentang HAM belum terwujud. Mereka masih mementingkan golongan atau kelompoknya sendiri. Akibatnya tujuan dari HAM itu sebdiri belum terlaksana.
Oleh karena itu, perlu adanya pelurusan dalam memahami Hak Asasi Manusia atau HAM, sehingga tujuan dari HAM untuk melindungi hak-hak individu dapat tercapai.


DAFTAR PUSTAKA
El-Muhtaj, Majda. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sanpai dengan Amandemen UUD 1945 tahun 2002. Jakarta: Kencana. 2009.
Majid, Nurchalis. Islam Agama Kemanusian Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesi. Jakarta: Paradina. 1995.
Ulinnuha, Roma. Kewarganegaraan: Kompilasi Referensi. Yogyakarta : Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga. 2014.



[1] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sanpai dengan Amandemen UUD 1945 tahun 2002, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 51
[2] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam, hlm. 53
[3] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam, hlm. 55.
[4] Roma Ulinnuha, Kewarganegaraan : Kompilasi Referensi, (Yogyakarta : 2014), hlm. 144.
[5] Nurcholis Majid, Islam Agama Kemanusian Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paradina, 1995), hlm. 208.
[6] Roma Ulinnuha, Kewarganegaraan : Kompilasi Referensi, hlm. 146.
[7] Amir Mu’allim, Kompatibilitas Agama(Islam) dengan HAM, Jurnal. Hlm. 4.
[8] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam, hlm. 57.
[9] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam, hlm. 59.
[10] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam, hlm. 60.
[11] http://politik.kompasiana.com/2012/03/16/minoritas-cenderung-dijadikan-warga-kelas-dua-446910.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar