Haji
Sunnah dan Tanggung Jawab Sosial
A. Latar
Belakang
Tingginya
peminat haji di Indonesia merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
panjangnya antrian haji. Sebagian orang mempunyai anggapan bahwa ibadah haji
merupakan ibadah yang utama, akhirnya mereka yang mempunyai harta berlebih
untuk terus melakukan ibadah haji sebagai sebuah kesunahan.
Hal
itu tidak lepas dari hadis Nabi tentang haji tatawwu’, bahwa haji wajin sekali
seumur hidup dan haji berikutnya merupakan sunah. Namun ketika melihat realitas
di Indonesia yang begitu panjang antrian haji dan juga masih banyaknya
orang-orang yang kelaparan serta kekurangan maupun mereka yang putus sekolah
akibat tidak ada biaya, apakah haji sunah tersebut masih dihukumi sunah? Ketika
banyaknya orang yang melaksanakan haji hingga berjejal-jejal, terinjak-injak
hingga banyak memakan korban jiwa, bukankah hal itu merupakan sebuah
kemadharatan?
Oleh
karena itu, berdasarkan latar belakang diatas, kami akan akan membahas tentang
1) kenapa haji mabrur bukan menjadi amalan yang utama? 2) bagaimana
keterkaiatan antara haji sunah dan tanggungjawab sosial?
B. Takhrij
Hadis
حدثنا
عبد العزيز بن عبد الله ، حدثنا إبراهيم بن سعد ، عن الزهري ، عن سعيد بن المسيب ،
عن أبي هريرة رضي الله عنه ، قال : " سئل النبي صلى الله عليه وسلم ، أي الأعمال
أفضل ؟ قال : إيمان بالله ورسوله ، قيل : ثم ماذا ؟ ، قال : جهاد في سبيل الله ، قيل
: ثم ماذا ؟ ، قال : حج مبرور[1]
Dalam mentakhrij hadis
kami menggunakan kitab Mu’jam al-Mufahras li al-faz al-hadis al-Nabawiy dengan
menggunakan kata kunci حج المبرور ditemukan 37 hadis, 8 hadis diriwayatkan oleh
Imam Bukhari, 3 hadis diriwayatkan oleh Muslim, 2 hadis diriwayatkan Tirmidzi,
4 hadis diriwayatkan Nasa’I, 1 hadis diriwayatkan Ibnu Majah, 1 hadis
diriwayatkan Malik, 1 hadis 1 hadis diriwayatkan ad-Dharimi dan 17 hadis
diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal.[2]
1. Kualitas
Sanad Hadis
Untuk melihat keshahihan sebuah hadis, kaidah ilmu hadis
menyatakan bahwa yang pertama kali perlu diteliti adalah sanadnya. Bila
sanadnya dinyatakan shahih, barulah matan-nya bisa diperhatikan. Bila tidak,
maka matannya dipandang tidak shahih lagi. Untuk menguji keshahihan sanad hadis
di atas, berikut ini akan ditelusuri identitas para perawinya. Jalur sanad
hadis yang akan diteliti adalah Nabi Saw→Abu Hurairah→ Sa’id bin Musayyab→Az-Zauhri→Ibrahim
bin Sa’d→Abdul Aziz bin Abdullah→al-Bukhari. Berikut ini identitas orang-orang
yang meriwayatkan dari jalur tersebut.
1)
Abu Hurairah
Nama lengkapnya
Abdurrahman bin Shakhr, berasal dari kalangan sahabat, kunyahnya Abu Hurairah.
Wafat pada tahun 57 H. beliau banyak meriwayatkan hadis dari Nabi Saw, Zaid bin
Tsabit, Salman al-Farisi, dll. Sedangkan yang meriwayatkan hadis dari beliau
Abu Ja’far al-Ansari, Sa’id bin al-Musayyab, Sulaiman bin Yasar, dll.
Jumhur ulama berpendapat semua rawi yang berasal dari kalangan sahabat adalah
adil.[3]
2)
Sa’id bin Musayyab
Nama lengkapnya Sa’id bin Musayyab bin Hazn bin Abi Wahab
bin bin ’Amr bin ’A’id bin Imran ibnu Makhzum al-Qurasyi al-Makhzumiy. Beliau
wafat dalam usia 80 tahun, menurut Ibnu Ma’in beliau wafat pada tahun 100 H,
sedangkan menurut Abu Na’im beliau wafat pada tahun 93H. Beliau meriwayatkan
hadis dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Abi Waaqas, Hakim ibnu Hazam, Abu
Hurairah, Hasan bin Tsabit, dll. Sedangkan yang meriwayatkan hadis dari
beliau diantaranya Salim bin Abdullah, az-Zuhri, Syarik bin Abi Namr,
Yahya bin Sa’id, Yunus bin Yusuf, dll.[4]
3)
Az-Zuhri[5]
Nama lengkapnya Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin
Abdullah bin Syihab bin Abdullah bin Ibnu Haris bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah
al-Quraisyiyu al-Zuhriyyu al-faqih. Kunyahnya Abu Bakr al-Hafid al-Madaniy,
beliau lahir pada tahun 51 H dan wafat pada tahun 125H. Guru-gurunya antara
lain Ismail bin Muhammad, Sa’id bin Musayyab, Malik, Ja’far bin Amru,
Abdurrahman bin Malik, dll. Sedangkan murid-muridnya Shalih bin Kaisan, Yunus
bin Yazid, Ibrahim bin Sa’d, Sufyn bin Husain, Muhammad bin Abdullah,
dll. Al-Nasa’i dan Abu Hatim menilainya seorang yang tsiqah, menurut
Ibnu Hiban beliau orang yang banyak menghafal hadis.
4)
Ibrahim bin Sa’d
Nama lengkapnya Ibrahim bin Sa’d bin Abdirrahman bin Auf
aZ-Zuhriy, kunyahnya Abu Ishaq al-Madaniy. Lahir di Baghdad pada tahun 108H dan
wafat pada tahun 183 H. Menurut Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Ma’in, Abu Hatim
beliau adalah seorang yang tsiqah. Guru-gurunya adalah Shalih bin Kaisan,
az-Zuhriy, Hisyam bin Urwah, Sufwan bin Salim, Muhammad bin Ishaq,
Syu’bah, dll.[6]
5)
Abdul Aziz bin Abdullah
Nama lengkapnya Abdul Aziz bin Abdullah bin Yahya bin
Amru bin Uwais bin Sa’d. beliau merupakan thabaqat kesepuluh, guru-gurunya Ibrahim
bin Sa’ad, Ishaq bin Ibrahim, Sa’id bin Abdurrahman, Abdullah bin Ja’far,
Qasim bin Abdullah, dll. Murid-muridnya al-Bukhari, Ja’far bin Sulaiman, Abdul
Malik bin Habib, Muhammad bin Abdullah, Harun bin Abdullah, dll. Ibnu Hajar dan
al-Dahabi menilai tsiqah, menurut al-Khaliliy beliau tsiqah mutafaqn
alaihi.[7]
6)
Al-Bukhari
Nama
lengkapnya Abu Abdullah Muhammad Ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn
Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhari. Dilahirkan pada hari Jum’at 13 Syawal 194H di
Bukhara dan meninggal pada tahun 256H. Beliau ulama besar dibidang hadis,
kredibilitas maupun kualitas intelektualnya tidak perlu diragukan lagi.[8]
Dari kajian sanad di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
sanad hadis diatas memenuhi syarat keshahihan sanad. Semua syarat keshahihan
sanad telah dapat terpenuhi. Syarat-syarat keshahihan sanad ialah
ketersambungan sanad (ittishal al-sanad), para perawinya kredibel (tsiqqahu
al-ruwah), intelektualitas perawi (dhabtu al-ruwah). Semua rijal yang terlibat
dalam periwayatan terbukti memiliki relasi sebagai guru-murid. Kredibilitas
maupun intelektualitas mereka juga tidak perlu dilakukan lagi. Tidak ada
seorang perawi pun yang berstatus dhaif. Tidak ada cela ('illat) pada para
rijal tersebut.
C.
Dalil-dalil yang setema
1.
Hadis diperbolehkannya Haji lebih dari satu kali
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِيُّ حَدَّثَنَا
يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَنْبَأَنَا سُفْيَانُ بْنُ حُسَيْنٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ
أَبِي سِنَانٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ الْأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ سَأَلَ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ الْحَجُّ فِي كُلِّ
سَنَةٍ أَوْ مَرَّةً وَاحِدَةً قَالَ بَلْ مَرَّةً وَاحِدَةً فَمَنْ اسْتَطَاعَ فَتَطَوَّعَ
Telah menceritakan kepada kami Ya'qub bin Ibrahim Ad
Dauraqi; telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun; telah memberitakan
kepada kami Sufyan bin Husain dari Az Zuhri dari Abu Sinan dari Ibnu Abbas
radliallahu 'anhu. Bahwa Al Aqra' bin Habis bertanya kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam; "Wahai Rasulullah, (apakah) haji itu wajib dilaksanakan
setiap tahun atau sekali saja seumur hidup?" Rasulullah menjawab: 'Haji
itu wajib hanya sekali. Maka barang siapa mampu, maka hendaknya melaksanakan
haji yang sunnah.' (HR. Ibnu Majah: 2886)[9]
2. Keutamaan Shadaqah
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعَلَى قَالَ حَدَّثَنَا
خَالِدٌ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ حَفْصَةَ عَنْ أُمِّ الرَّائِحِ عَنْ سَلْمَانَ
بْنِ عَامِرٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الصَّدَقَةَ
عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdul A'la dia
berkata; Telah menceritakan kepada kami Khalid dia berkata; Telah menceritakan
kepada kami Ibnu 'Aun dari Hafshah dari Ummu Ar Raaih dari Salman bin 'Amir
dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya sedekah
kepada orang miskin pahalanya satu sedekah, sedangkan sedekah kepada kerabat
pahalanya dua; pahala sedekah dan pahala silaturrahim." (HR. An-Nasa’i: 2578)[10]
3. QS. At-Taubah[9]: 19-20
أَجَعَلْتُمْ
سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللّهِ لاَ يَسْتَوُونَ عِندَ اللّهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي
الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Apakah
(orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan
mengurus Masjidilharam kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada
Allah dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi
Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim .
الَّذِينَ
آمَنُواْ وَهَاجَرُواْ وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ
أَعْظَمُ دَرَجَةً عِندَ اللّهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
orang-orang yang
beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri
mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang
yang mendapat kemenangan.
4.
Tidak membiarkan tetangganya
kelaparan
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبَايَةَ بْنِ رِفَاعَةَ قَالَ بَلَغَ عُمَرَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ سَعْدًا لَمَّا بَنَى الْقَصْرَ قَالَ انْقَطَعَ الصُّوَيْتُ
فَبَعَثَ إِلَيْهِ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ فَلَمَّا قَدِمَ أَخْرَجَ زَنْدَهُ وَأَوْرَى
نَارَهُ وَابْتَاعَ حَطَبًا بِدِرْهَمٍ وَقِيلَ لِسَعْدٍ إِنَّ رَجُلًا فَعَلَ كَذَا
وَكَذَا فَقَالَ ذَاكَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ فَخَرَجَ إِلَيْهِ فَحَلَفَ بِاللَّهِ
مَا قَالَهُ فَقَالَ نُؤَدِّي عَنْكَ الَّذِي تَقُولُهُ وَنَفْعَلُ مَا أُمِرْنَا بِهِ
فَأَحْرَقَ الْبَابَ ثُمَّ أَقْبَلَ يَعْرِضُ عَلَيْهِ أَنْ يُزَوِّدَهُ فَأَبَى فَخَرَجَ
فَقَدِمَ عَلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَهَجَّرَ إِلَيْهِ فَسَارَ ذَهَابَهُ
وَرُجُوعَهُ تِسْعَ عَشْرَةَ فَقَالَ لَوْلَا حُسْنُ الظَّنِّ بِكَ لَرَأَيْنَا أَنَّكَ
لَمْ تُؤَدِّ عَنَّا قَالَ بَلَى أَرْسَلَ يَقْرَأُ السَّلَامَ وَيَعْتَذِرُ وَيَحْلِفُ
بِاللَّهِ مَا قَالَهُ قَالَ فَهَلْ زَوَّدَكَ شَيْئًا قَالَ لَا قَالَ فَمَا مَنَعَكَ
أَنْ تُزَوِّدَنِي أَنْتَ قَالَ إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ آمُرَ لَكَ فَيَكُونَ لَكَ الْبَارِدُ
وَيَكُونَ لِي الْحَارُّ وَحَوْلِي أَهْلُ الْمَدِينَةِ قَدْ قَتَلَهُمْ الْجُوعُ وَقَدْ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَشْبَعُ
الرَّجُلُ دُونَ جَارِهِ آخِرُ مُسْنَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
حَدِيثُ السَّقِيفَةِ
Telah menceritakan kepada kami
Abdurrahman Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari bapaknya dari 'Abayah
Bin Rifa'ah dia berkata; telah sampai berita kepada Umar bahwa ketika Sa'd
membangun istana, dia berkata; "Terputuslah suara (komunikasi) ".
Maka diutuslah Muhammad Bin Maslamah kepadanya, ketika dia datang dia mengeluarkan
lengan tangannya dan menyalakan api kemudian membeli kayu bakar dengan dirham,
kemudian dikatakanlah kepada Sa'd; "Sesungguhnya seseorang telah melakukan
begini dan begini, " lalu dia menjawab; "Dia adalah Muhammad Bin
Maslamah." Kemudian dia keluar menemuinya dan bersumpah kepada Allah bahwa
dia tidak mengatakannya, lalu dia berkata; "Kami akan melaksanakan
-darimu- apa yang kamu katakan, dan kami melaksanakan apa yang diperintahkan
kepada kami, " maka dia membakar pintu, kemudian dia menghadap kepadanya
kemudian Sa'd menawarkan memberi bekal namun dia menolak. Kemudian Muhammad Bin
Maslamah berangkat kembali kepada Umar, dan dia berjalan pulang menuju
kepadanya selama sembilan belas hari, kemudian Umar berkata; "Seandainya
bukan karena baik sangka kepadamu maka kami akan berkesimpulan bahwa kamu belum
melaksanakan keinginan kami, " dia menjawab; "Ya, dia mengirim salam
dan meminta maaf serta bersumpah kepada Allah bahwa dia tidak
mengucapkannya." Kemudian Umar bertanya; "Apakah dia
membekalimu?" Dia menjawab; "Tidak" Umar berkata; "Apa yang
menghalangimu untuk membekaliku?" Dia menjawab; "Aku tidak suka
menyuruh kepadamu, kamu menjadi dingin sementara aku menjadi panas, dan di
sekitarku adalah orang-orang Madinah yang mati kelaparan, padahal aku mendengar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah seseorang
menjadi kenyang sementara tetangganya kelaparan." Hadits terakhir dari
musnad Umar Bin Al Khaththab adalah hadits tentang Saqifah
5.
Surat al-Hajj
لِّيَشۡهَدُواْ مَنَٰفِعَ لَهُمۡ وَيَذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ
فِيٓ أَيَّامٖ مَّعۡلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلۡأَنۡعَٰمِۖ فَكُلُواْ
مِنۡهَا وَأَطۡعِمُواْ ٱلۡبَآئِسَ ٱلۡفَقِيرَ ٢٨
28.
supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka
menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah
telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian
daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang
sengsara dan fakir
D.
Penjelasan Hadis
1.
Syarah Hadis
Dalam kitab Fathul
Bari, dijelaskan bahwa kata iman
dan haji disebutkan dalam bentuk nakirah (indefinit) untuk menunjukkan arti
tunggal sedangkan jihad disebutkan dalam bentuk ma’rifat (definit) untuk
menunjukakan arti kesempurnaan. Sebab jika jihad hanya dilakukan sekali padahal
seharusnya dilakukan terus menerus maka tidak lagi afdhal (tidak utama).[11]
Dalam hadis ini
kata jihad disebutkan setelah iman sedangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Abu Dzar tidak disebutkan kata jihad tapi yang disebutkan adalah al ‘Itqu
(membebaskan budak).. dalam hadis Ibnu Mas’ud urutannya dimulai dengan shalat,
berbakti kepada orang tua kemudian jihad, dan dalam hadis yang lalu telah
disebutkan “selamat dari tangan mulut”.[12]
Para ulama
mengatakan bahwa perbedaan tersebut disebutkan karena perbedaan kondisi dan
kebutuhan para pendengar. Maka para penanya dan pendengar diberitahuakan tentang hal-hal yang
belum mereka ketahui. Atau hadis tersebut mengandung kata “ min” yang berarati
“ bagian”, sebagaiman hadis Nabi “Khairukum kharukum li
ahlihi (sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang yang
paling baik kepada keluarganya).” Jika ada pertanyan,”Mengapa jihad yang tidak
termasuk dalam rukun Islam lebih didahulukan daripada haji yang merupakan rukun
Islam?” jawabnya adalah bahwa manfaat haji sifatnya terbatas sedangkan manfaat
jihad sangat luas.” Atau mungkin karena hukum
jihad adalah fardhu ‘ain. Hal ini telah berulang kali
disebutkan sehingga jihad lebih penting dan dikedepankan dari pada haji.[13]
حَجُّ مَبْرُورٌ(haji yang mabrur) yang dimaksud dengan haji mabrur adalah haji
yang diterima. Sebagian orang berpendapat haji mabrur adalah haji yang tidak
dicampuri dengan
dosa atau haji yang tidak mengandung unsur riya’.[14]
2. Kontekstualitas
Hadis
1) Pengertian
Haji
Haji
dalam bahasa Arab, artinya pergi menuju, al-Khalil berkata,”Haji artinyasering
pergi ke orang yang kau agungkan.
Menurut
pengertian syari’at haji artinya pergi ke Ka’bah untuk melaksakan amalan-amalan
tertentu atau berziarah ke tempat tertentu pada waktu tertentu guna
melaksanakan amalan tertentu. Ziarah artinya pergi. Tempat tertentu adalah
Ka’bah dan ‘Arafah. Waktu tertentu adalah bulan-bulan haji, yaitu Syawal,
Dzulqa’dah, Dzulhijjah serta sepuluh harai pertama Dzulhijjah. Masing-masing
amalan punya waktu khusus. Misalnya, waktu thawaf (menurut jumhur) adalah sejak
terbit fajar di hari Kurban sampai akhir umur, waktu wukuf di Arafah adalh
sejak condongnya matahati di hari Arafah
hingga ternitnya fajar pada hari Kurban. Amaln artinya dating dalam keadaan
berihram dengan niat berhaji (pergi) ke tempat-tempat tertentu.
Haji diwajibkan pada akhir tahun 9
Hijriah. Ayat yang mewajibkannya adalah firman Allah SWT QS, ali ‘Imran ayat
97, ayat ini turun pada ‘Amul Wufuud (tahun datangnya berbagai delegasi yang
menyatakan masuk Islam) di tahun 9 H. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Setelah haji
diwajibkan Nabi SAW menunda pelaksanaannya tapi tidak satu tahun penuh, beliau
menundanya sampai tahun 10 H yaitu karena ayat tersebut turun setelah habisnya
waktu haji. Footnote sama no 1
Haji adalah rukun Islam yang kelima,
Allah mewajibkannya atas orang yang mampu. Demikian pula umrah. Kedua-dua wajib
menurut madzhab Syafi’I dan Hambali berdasarkan firmannya QS. Al-Baqarah ayat
196. Sedangkan menurut madzhab Maliki dan Hanafi umrah adalah sunnah.[15]
Sedangkan pengertian haji mabrur menurut
bahasa, kata mabrur berasal dari Bahasa Arab yang artinya mendapatkan
kebaikan atau menjadi baik. Kalau dilihat akar katanya kata mabrur berasal
dari kata barra “berbuat baik atau patuh”. Dari kata barra kita
bisa mendapatkan kata birrun, al-birru yang artinya kebaikan. Jadi al-hajj
al-mabrur artinya haji yang mendapatkan birrun (kebaikan). Dan
sering juga kita artikan sebagai ibadah haji yang diterima Allah SWT, dengan
kata lain haji yang mendapatkan kebaikan atau haji yang (pelakunya) menjadi
baik.[16]
Keutamaan dari haji mabrur itu sendiri
yaitu dengan dijanjikannya balasan surga bagi orang yang telah menunaikan haji
mabrur, selain itu masyarakat juga menganggap bahwa ibadah haji juga merupakan
suatu ibadah yang utama. Sehingga hal itu mendorong sebagian orang ketika
mereka memilki harta lebih memilih untuk terus melakukan ibadah haji, karena
anggapan mereka bahwa ibadah haji adalah ibadah yang terbaik. Padahal kewajiban
berhaji hanyalah sekali seumur hidup, sedang haji yang berikutnya adalah haji
sunnah.
Melihat
konteks masyakat Indonesia saat ini apakah ibadah haji, terutama ibadah haji
sunnah menjadi amalan yang utama?
Berangkat dari masalah tersebut, menurut
Yusuf al-Qordhawi kita harus menentukan mana yang lebih prioritas. Untuk bisa
menentukan mana yang lebih prioritas diperlukan kaidah-kaidah syari’at:
Pertama, Allah tidak berkenan menerima
ibadah sunah sebelum ibdah yang fardhu ditunaikan. Misalnya ketika seseorang
mampu melaksakan ibadah haji sunah namun dia enggan mengeluarkan zakat maka
hajinya tertolak. [17]
Kedua, Allah tidak berkenan menerima
ibadah sunah yang mengakibatkan atau bahkan mendorong hal yang diharamkan. Jika
banyaknya jumlah orang yang menunaikan ibadah haji sunnah, sekiranya dapat
mengganggu jamaah haji lainnya sehingga harus berdesak-desakan atau menimbulkan
kesusahan merebaknya wabah penyakit dan jatuhnya korban jiwa akibat terinjak
injak sesama jamaah haji tanpa disadari atau disadari, namun tidak bisa
terhindarkan karena jamaah tidak dapat bergerak maju atau mundur maka kepadatan
itu wajib dikurang dengan cara apapun. [18]
Ketiga, menolak kerusakan lebih
didahulukan daripada mengambil manfaat, apalagi kerusakan yang bersifat umum
dan dampaknya merata, sementara manfaat itu bersifat khusus dan pengaruhnya
terbatas. [19] Misalnya apabila kemaslahatan itu hanya untuk
sebagian orang yang melakukan haji sunah berkali-kali sedangkan dibalik itu
terdapat mafsadat umum bagi beribu-ribu bahkan beratus-ratus ribu jamaah haji,
maka mafsadat ini wajib dicegah dengan mencegah sesuatu yang menjadi
penyebabnya yaitu berjejal jejalnya orang yang menunaikan haji sunah. [20]
Keempat, pintu-pintu kebaikan yang
sunnah sangatlah luas beragam dan banyak. Allah tidak membuat kesempitan bagi
hamba-hambanya dalam hal ini. Seorang mukmin yang bijaksana mampu membuat
perhitungan sekala proritas terhadap kedaan dirinya secara tepat, sesuai dengan
waktu, situasi, dan kondisi di sekitarnya. [21]
Ketika ibadah haji sunah menimbulkan
banyak mudharat, maka lebih baiknya uang tersebut digunakan untuk kegiatan
social, atau menyalurkan kepada orang-orang yang lebih membutuhkan. Seperti
sedekah, lebih-lebih jika masih ada kerabat yang masih kekurangan, menymbangkan
hartanya untuk lembaga-lembaga keagamaan, sekolah-sekolah, maupun badan-badan
social. Menurut informasi dari BPS bahwa kemiskinan di Indonesia mencapai 28 513,57
ribu jiwa. Hal itu membuktikan bahwa betapa banyaknya orang-orang yang berhak
mendapatkan uluran tangan kita. Karena bersedakah juga merupakan ibadah yang
dianjurkan, seperti dalam hadis:
الصدقة على المسكين صدقة
و على ذى الرحم ثنتان : صدقة وصلة
“bersedekah
kepada orang miskin bernilai sebagai satu sedekah sedangkan bersedakah pada
famili mempunyai nilai dua, yaitu sebagai sedekah penyambung kekeluargaan.”
(hadis riwayat Ahmad, Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Hakim) [22]
Terkadang
bersedekah hukumnya bisa meningkat menjadi wajib maka jika kita mengabaikan
maka berdosa.
E. Kesimpulan
Haji mabrur bukan
menjadi amalan yang utama, karena haji tidak harus diulang setiap tahunnya.
Beda halnya dengan jihad yang harus selalu diulang, karena manfaat haji
terbatas untuk perorang sedangkan jihad bermanfaat luas. Salah satu bentuk
jihad adalah bersedekah dijalan Allah, karena bersedekah membantu fakir miskin
sehingga mereka dapat merasakan hidup yang lebih layak. Selain itu, melihat
kondisi antrian haji dan juga banyaknya jamaah haji yang kemungkinan
menimbulkan madharat seperti banyak terinjak-injak dan memakan korban jiwa,
maka lebih utama meninggalkan haji sunnah dan menyalurkan hartanya pada lembaga-lembaga
sosial maupun pendidikan serta menyalurkan bantuan kepada fakir miskin. Karena
peka terhadap lingkungan sosial juga merupakan salah satu indikasi kemabruran.
Hal itu juga dapat memberikan peluang kepada orang-orang yang belum melaksakan
haji dengan mengurangi antrian daftar haji.
Daftar Pustaka
Abdurrahman. Studi Kitab Hadis.
Yogyakarta: Teras press. 2003.
Al-Qardhawi,
Yusuf. 100 Tanya Jawab Haji dan Umrah. terj. Abdurrasyad Shiddiq. Jakarta:
Pustaka al-Kautsar. 2013.
Fatwa-Fatwa Kontemporer. terj.
As’ad Yasi., jld. 1. Jakarta: Gema Insani Press. 1996.
AZ-Zuhaili. Wahbah. Fiqih Islan wa
Adillah. terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. jld 3. Jakarta : Gema Insani.
2011.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Baari:
Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah. 2004.
Imam al-Bukhari. Shahih Bukhari. jld. 1. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 2008.
Majid, Nurchalis. Perjalanan Relegius
Umrah dan Haji. Jakarta: Paramadina. 1997.
Wensick, A.J. al-Mu’jam al-Mufahras li
al Faz al-Hadith al-Nabawiy: an al-kutub al-Sunah wa an Musnad al-Darimi,
Muwatta’ Malik wa Musnad Ibn Hanbal. Jilid 2. Leiden: E.J. Brill. 1995
[1] Imam al-Bukhari, Shahih
Bukhari, jld. 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008), hlm 512.
[2] A.J. Wensick, al-Mu’jam
al-Mufahras li al Faz al-Hadith al-Nabawiy: an al-kutub al-Sunah wa an Musnad
al-Darimi, Muwatta’ Malik wa Musnad Ibn Hanbal. Jld.2, (Leiden: E.J.Brill,
1995), hlm. 420.
[3] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib
at-Tahdzib fi Rijal al-Hadis, jld. 4, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2004),
hlm. 74-77.
[4] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib
at-Tahdzib, jld. 4, hlm. 74-77.
[5] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib
at-Tahdzib, jld 9, hlm. 385-387.
[6] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib
at-Tahdzib, jld. 1, hlm. 115-116.
[7] Al-Mizzi, Tahdzibu kamal fi
asma’ al-rijal, dalam software Maktabah Syamilah.
[8] Abdurrahman, Studi Kitab Hadis,
(Yogyakarta: Teras press, 2003), hlm. 45.
[9] Ibnu Majah al-Qazwiny, Sunan Ibnu Majah, (Semarang:
Toha Putra, sa), hlm. 973.
[10] Jalaluddin Abdurrahman al Suyuti, Sunan al
Nasa’I, (Beirut: Dar al Fikr, 2009), hlm. 94.
[11] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul
Baari : Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari, Gazirah Abdi Ummah, jlid 1,
(Jakarta : Pustaka Azzam, 2010), hlm 139.
[12] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul
Baari: Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari , hlm. 139
[13] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul
Baari: Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari , hlm. 140.
[14] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul
Baari : Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari, hlm 139.
[15] AZ-Zuhaili. Wahbah, Fiqih Islan
wa Adillah, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jld 3, (Jakarta : Gema Insani,
2011), hlm 368.
[16] Nurcholis Majid, Perjalanan
Relegius Umrah dan Haji, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 65.
[17] Yusuf
al-Qaradhawi, 100 Tanya Jawab Haji dan Umrah, terj. Abdurrasyad Shiddiq,
(jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013), hlm. 73
[18]
Yusuf al-Qaradhawi, 100 Tanya Jawab Haji dan Umrah, hlm. 74
[19]
Yusuf al-Qaradhawi, 100 Tanya Jawab Haji dan Umrah, hlm. 75
[20] Yusuf
al-Qaradhawi, fatwa-Fatwa Kontemporer, terj. As’ad Yasin, jld. 1, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), hlm. 443.
[21]
Yusuf al-Qaradhawi, 100 Tanya Jawab Haji dan Umrah, hlm. 75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar