Senin, 09 Januari 2017

Ranah Kajian al-Quran

Ranah Kajian al-Qur’an

Al-Quran merupakan  kitab petunjuk yang diturunkan Tuhan untuk umat manusia sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan. Al-Qur’an yang amat luas wawasannya terbuka untuk dikaji dan dijelaskan. Untuk menjadi objek dari metode ilmiah maka al-Quran dikaji secara sistematis yaitu dengan cara yang teratur, runtut dan terpikirkan dengan melakukan pendekatan-pendekatan dari berbagai disiplin ilmu. Ketika al-Qur’an sebagai teks maka yang menjadi objek penelitian adalah naskah al-Qur’an. Namun ketika al-Qur’an sebagai kitab suci yang menjadi objek adalah bagaimana orang meyakini kebenaran isi al-Qur’an. Secara garis besar ada tiga ranah kajian al-Qur’an yaitu:
  1. 1.      Origins (asal-usul)

Pada aspek ini membahas tentang asal-usul atau sejarah. Ketika membicarakan tentang tentang sejarah maka tidak lepas dari ruang dan waktu. Sehingga perlu adanya metode sejarah sebagai alat penelitian. Namun dalam konteks asal usul atau asbabun nuzul al-Qur’an terlepas dari metode sejarah karena peristiwa tersebut anhistoris, dimana dimensi lain yang tidak dapat dijangkau atau anobservable (melampaui ruang observasi). Oleh karena itu, informasi tentang sejarah turunnya al-Qur’an diperoleh dari penafsiran dari ayat-ayat al-Qur’an yang menceritakan proses turunnya al-Qur’an.
  1. 2.      Forms (bentuk)

Pada ranah ini yang dikaji adalah bentuk tulisan atau manuskrip al-Qur’an yang melibatkan ilmu sejarah dan ilmu filologi untuk mengkaji teks al-Qur’an. Ilmu filologi membantu dalam menentukan usia, kapan manuskrip tersebut dibuat. Sedangkan ilmu sejarah digunakan untuk menggali informasi sosio-historis pada saat manuskrip ditulis.
  1. 3.      Function (fungsi)

Dalam ranah ini al-Qur’an memiliki dua fungsi yaitu sebagai fungsi informatif dan fungsi performatif. Fungsi informative yang berisi kandungan al-Qur’an melahirkan objek kajian dari segi kebahasaan dan juga asumsi dasar atau maksud yang ingin disampaikan al-Qur’an. Sehingga dari kajian tersebut melahirkan berbagai kitab tafsir dari berbagai sudut pandang. Sedangkan fungsi performative membahas tentang tindakan atau perilaku masyarakat terhadap al-Qur’an atau yang lebih dikenal dengan living Qur’an.

            Keotentikan al-Qur’an yaitu bagaimana al-Qur’an diyakini sebagai kalam Tuhan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Karena hal tersebut merupakan bianobsevable atau melampaui ruang observasi sehingga tidak dapat dijadikan objek observasi, bersifat metafisik. Oleh karena itu yang dapat dijadikan objek observasi adalah keyakinan orang terhadap al-Qur’an dan bagaimana orang meyakininya, sehingga dari situlah muncul kajian living Qur’an.

Paradigma Thomas Kuhn

Paradigma Thomas Kuhn
By Diana Fitri Umami
A.    Latar Belakang
Sejarah keilmuan terus mengalami perkembangan dan kemajuan dari masa ke masa. Masalah keilmuan menjadai masalah penting bagi kehidupan manusia. Karena manusia itu selalu bereksistensi, berbudaya, dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan menggunakannya dalam kehidupan meeka.
Dalam bidang keilmuan diperlukan adanya sebuah paradigm untuk dapat memecahkan sebuah masalah. Untuk memahami gagasan paradigm, juga harus memahami gagasan tentang positivisme seperti yang telah dijelaskan oleh kelompok sebelumnya. Thomas Kuhn merupakan tokoh yang menemukan gagasan tentang paradigm. Menurutnya paradigmalah yang mampu menentukan jenis-jenis eksperimen yang dilakukan oleh seorang ilmuwan. Paradigmlah yang dibutuhkan seorang ilmuan dalam melakukan penelitian.
Sebuah paradigm tidak selamanya kokoh, ia memiliki ketahanan tertentu yang mampu menimbulkan anomaly-anomali. Anomaly yang tidak mampu diselesaikan akan menyebabkan krisis sehingga terjadi pergesaran paradigm atau revolusi ilmiah.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan membahas tentang biografi Thomas Khun; pengertian paradigm; dan revolusi ilmiah.
B.     Biografi Thomas Kuhn
Thomas S. Kuhn lahir di Cincinnati, Ohio, Anerika Serikat pada 18 Juli 1992. Pada tahun 1994, Kuhn berhasil meraih Ph.D dalam ilmu fisika di Harvard University. Di universitas yang saat ini merupakan universitas terbaik dunia ini Kuhn bekerja dibidang pendidikan umum dan sejarah ilmu. Pada tahun 1956, dia pindah ke Universitas California Berkeley sebagai dosen sejarah sains. Pada tahun 1964, Kuhn dinobatkan sebagai Guru Besar pada Princeton University bidang filsafat dan sejarah sains. Pada 1983, dia juga menjadi professor di Massachusetts Institute of University. Pada akhirnya filosof Kuhn terjangkit penyakit kanker selama beberapa tahun hingga ajal menjemputnya pada 17 Juni 1996. Karyanya boleh dibilang sedikit, dan yang paling terkenal adalah The Structure of scientific Revolution (1962).[1]
C.     Paradigm
Sebelum adanya paradigm atau pada masa pra paradigmatic, pengumpulan fakta atau kegiatan penelitian dalam bidang tertentu berlangsung dengan cara yang hampir dapat dikatakan mengacu pada perencanaan atau kerangka teoritikal yang diterima umum.
Thomas Khun merupakan ilmuwan Barat yang mencetuskan sistem keyakinan yang dapat memecahkan permasalahan atau kesulitan dalam rangka ilmunya yang dinamakan paradigm. Menurut Kuhn, ilmu tidak satu tapi plural, dan ilmuwan selalu bekerja dibawah satu payung paradigm yang memuat asumsi ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Kuhn mendefinisikan paradigm setidaknya dalam dua puluh dua pengertian, yang secara garis besar dirangkum sebagai berikut:
a.       Kerangka konseptual untuk mengklarifikasi dan menerangkan objek-objek fisikal alam
b.      Patokan untuk menspesifikasi metode yang tepat, teknik-teknik, dan instrument dalam meneliti objek-objek dalam wilayah yang relevan; dan
c.       Kesepakatan tentang tujuan-tujuan kognitif yang absah.[2]
Namun secara umum, paradigm diambil dari kata paradigm. Dari Bahasa Yunani, para deigma, dari kata para (di samping, di sebelah), dan dekynai (memperlihatkan: yang berarti model, contoh, arketipe, ideal).[3] Paradigm merupakan konstruk berpikir yang mampu menjadi wacana untuk temuan ilmiah.[4]
Paradigm menjadi patokan bagi ilmu pengetahuan untuk melaksanakan penelitian, memecahkan masalah, bahkan menyeleksi masalah yang pantas untuk dibahas. Paradigm menjadi semacam kacamata ilmuwan untuk mempersepsi semesta. Menurut Kuhn, paradigm lah yang menentukan jenis-jenis eksperiman yang dilakukan ilmuwan, jenis pertanyaan dan masalah yang diajukan.[5]
D.    Revolusi Ilmiah
Perdebatan antara Popper dan Kuhn mengenai prinsip perbandingan dan prinsip ketakberbandingan yang memicu adanya revolusi dalam ilmu pengetahuan. Jika Popper meyakini akumulasi kognitif yang meyakinkan adanya perbandingan rasional di antara berbagai teori sehingga teori-teori saling berkesinambungan, Kuhn menyangkalnya dengan mengajukan prinsip ketakberbandingan yang mengimplikasikan bahwa kesinambungan antar teori-teori mustahil karena teori-teori itu beroperasi di bawah paradigmanya masing-masing. Mengenai anomaly (kesalahan) Popper menyakini bahwa perlu ditemukan sebuah kesalahan (falsifikasi) untuk mencapai kemajuan, sedangkan Kuhn beranggapan bahwa berbagai kesalahan (anomaly) pasti terjadi dalam sebuah paradigm. [6]
Konsep ketakberbandingan dan ketaksinambungan Kuhn, dapat dilihat dari pemikirannya tentang kemajuan ilmu pengetahuan yang menurutnya kemajuan ini berawal dari perjuangan kompetitif antar berbagai teori untuk memperoleh legitimasi social. Sehingga teori tersebut menjadi sebuah paradigm, jadi paradigm itu muncul dari kompetisi antar teori.
Paradigm itu sendiri pada gilirannya memiliki masa ketahanan tertentu dimana setelah melahirkan ilmu normal lantaran kekokohannya sebgai sebuah patokan dasar atau kerangka konseptual, akan memunculkan anomaly. Anomaly ini tidak lain merupakan kumpulan kejanggalan atau kesalahan yang tersingkap. Karena sudah menumpuk maka anomaly tersebut pada saatnya menyebabkan krisis keilmuan. Krisis inilah yang akan menimbulkan paradigm baru.[7]
Ilmu normal adalah tahap ketika sebuah paradigm mampu melahirkan keadaan kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, dalam ilmu normal terkadang muncul persoalan-persoalan yang tidak terselesaikan yang mengakibatkan munculnya anomaly. Ketika anomaly tersebut terus menumpuk dan tak terselesaikan menyebabkan krisis dan akhirnya muncullah sebuah paradigm baru. Jika komunitas ilmiah mampu memecahkan krisis maka terjadilah revolusi ilmiah, yaitu proses terjadinya pergeseran dari paradigm satu ke paradigm dua dan seterusnya.[8] Proses pergeseran paradigm dinamakn sebagai revolusi ilmiah karena apabila ada malafungsi yang dapat menyebabkan terjadinya krisis itu merupakan persyaratan bagi revolusi.[9]
E.     Kesimpulan
Thomas Kuhn merupan seorang ilmuan fisika yang akhirnya bergerak dalam bidang filsafat. Kuhn mengembangkan sejarah ilmu dengan merumuskan konsep paradigm. Paradigm merupakan konstruk berpikir dalam menyelesaikan masalah ilmiah. Paradigm dapat dijadikan sebagai patokan dalam melakukan penelitian. Paradigma lahir dari kompetisi teori-teori untuk memperoleh validasi untuk dijadikan sebuah paradigm.
Paradigm memiliki masa ketahanan tertentu, artinya suatu saat ada masa dimana paradigm sudah tidak berfungsi lagi. Hal itu meninumbulkan anomaly, dan jika tidak mampu diatasi maka anomaly tersebut menyebabkan krisis. Ketidakberfungsian paradigm memunculkan adanya paradigm baru atau pergeseran paradigm. Pergeseran paradigm tersebut dikenal dengan istilah revolusi ilmiah.



Daftar Pustaka


Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Cet. III. Jakarta: Gramedia. 2002.
Kuhn, Thomas. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. penj. Tjun Surjaman. Bandung: Remaja Karya Offset. 1989.
Sibawaihi. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga. 2011.
Sofyan, Ayi. Kapita Selekta Filsafat. Bandung: Pustaka Setia, 2010.



[1] Sibawaihi, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 71.
[2] Ibid, hlm. 73.
[3] Lorens Bagus, kamus Filsafat, Cet. III, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 779.
[4] Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, (Bandung: Pustaka Setia, 2010) hlm. 159.
[5] Sibawaihi, Filsafat Ilmu, hlm. 73.
[6] Ibid, 74.
[7] Ibid, 75.
[8] Sibawaihi, Filsafat Ilmu, hlm. 75.
[9] Thomas Kuhn, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, penj. Tjun Surjaman, (Bandung: Remaja Karya Offset, 1989), hlm.100.

Hadis Tentang Haji Sunnah dan Tanggung Jawab Sosial

Haji Sunnah dan Tanggung Jawab Sosial

A.    Latar Belakang
Tingginya peminat haji di Indonesia merupakan salah satu faktor yang menyebabkan panjangnya antrian haji. Sebagian orang mempunyai anggapan bahwa ibadah haji merupakan ibadah yang utama, akhirnya mereka yang mempunyai harta berlebih untuk terus melakukan ibadah haji sebagai sebuah kesunahan.
Hal itu tidak lepas dari hadis Nabi tentang haji tatawwu’, bahwa haji wajin sekali seumur hidup dan haji berikutnya merupakan sunah. Namun ketika melihat realitas di Indonesia yang begitu panjang antrian haji dan juga masih banyaknya orang-orang yang kelaparan serta kekurangan maupun mereka yang putus sekolah akibat tidak ada biaya, apakah haji sunah tersebut masih dihukumi sunah? Ketika banyaknya orang yang melaksanakan haji hingga berjejal-jejal, terinjak-injak hingga banyak memakan korban jiwa, bukankah hal itu merupakan sebuah kemadharatan?
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang diatas, kami akan akan membahas tentang 1) kenapa haji mabrur bukan menjadi amalan yang utama? 2) bagaimana keterkaiatan antara haji sunah dan tanggungjawab sosial?

B.     Takhrij Hadis
حدثنا عبد العزيز بن عبد الله ، حدثنا إبراهيم بن سعد ، عن الزهري ، عن سعيد بن المسيب ، عن أبي هريرة رضي الله عنه ، قال : " سئل النبي صلى الله عليه وسلم ، أي الأعمال أفضل ؟ قال : إيمان بالله ورسوله ، قيل : ثم ماذا ؟ ، قال : جهاد في سبيل الله ، قيل : ثم ماذا ؟ ، قال : حج مبرور[1]

Dalam mentakhrij hadis kami menggunakan kitab Mu’jam al-Mufahras li al-faz al-hadis al-Nabawiy dengan menggunakan kata kunci حج المبرور  ditemukan 37 hadis, 8 hadis diriwayatkan oleh Imam Bukhari, 3 hadis diriwayatkan oleh Muslim, 2 hadis diriwayatkan Tirmidzi, 4 hadis diriwayatkan Nasa’I, 1 hadis diriwayatkan Ibnu Majah, 1 hadis diriwayatkan Malik, 1 hadis 1 hadis diriwayatkan ad-Dharimi dan 17 hadis diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal.[2]

1.      Kualitas Sanad Hadis
Untuk melihat keshahihan sebuah hadis, kaidah ilmu hadis menyatakan bahwa yang pertama kali perlu diteliti adalah sanadnya. Bila sanadnya dinyatakan shahih, barulah matan-nya bisa diperhatikan. Bila tidak, maka matannya dipandang tidak shahih lagi. Untuk menguji keshahihan sanad hadis di atas, berikut ini akan ditelusuri identitas para perawinya. Jalur sanad hadis yang akan diteliti adalah Nabi Saw→Abu Hurairah→ Sa’id bin Musayyab→Az-Zauhri→Ibrahim bin Sa’d→Abdul Aziz bin Abdullah→al-Bukhari. Berikut ini identitas orang-orang yang meriwayatkan dari jalur tersebut.

1)      Abu Hurairah
Nama lengkapnya Abdurrahman bin Shakhr, berasal dari kalangan sahabat, kunyahnya Abu Hurairah. Wafat pada tahun 57 H. beliau banyak meriwayatkan hadis dari Nabi Saw, Zaid bin Tsabit, Salman al-Farisi, dll. Sedangkan yang meriwayatkan hadis dari beliau Abu Ja’far al-Ansari, Sa’id bin al-Musayyab, Sulaiman bin Yasar, dll. Jumhur ulama berpendapat semua rawi yang berasal dari kalangan sahabat adalah adil.[3]

2)      Sa’id bin Musayyab
Nama lengkapnya Sa’id bin Musayyab bin Hazn bin Abi Wahab bin bin ’Amr bin ’A’id bin Imran ibnu Makhzum al-Qurasyi al-Makhzumiy. Beliau wafat dalam usia 80 tahun, menurut Ibnu Ma’in beliau wafat pada tahun 100 H, sedangkan menurut Abu Na’im beliau wafat pada tahun 93H. Beliau meriwayatkan hadis dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Abi Waaqas, Hakim ibnu Hazam, Abu Hurairah, Hasan bin Tsabit, dll. Sedangkan yang meriwayatkan hadis dari beliau diantaranya Salim bin Abdullah, az-Zuhri, Syarik bin Abi Namr, Yahya bin Sa’id, Yunus bin Yusuf, dll.[4]
3)      Az-Zuhri[5]
Nama lengkapnya Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab bin Abdullah bin Ibnu Haris bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah al-Quraisyiyu al-Zuhriyyu al-faqih. Kunyahnya Abu Bakr al-Hafid al-Madaniy, beliau lahir pada tahun 51 H dan wafat pada tahun 125H. Guru-gurunya antara lain Ismail bin Muhammad, Sa’id bin Musayyab, Malik, Ja’far bin Amru, Abdurrahman bin Malik, dll. Sedangkan murid-muridnya Shalih bin Kaisan, Yunus bin Yazid, Ibrahim bin Sa’d, Sufyn bin Husain, Muhammad bin Abdullah, dll. Al-Nasa’i dan Abu Hatim menilainya seorang yang tsiqah, menurut Ibnu Hiban beliau orang yang banyak menghafal hadis.
4)      Ibrahim bin Sa’d
Nama lengkapnya Ibrahim bin Sa’d bin Abdirrahman bin Auf aZ-Zuhriy, kunyahnya Abu Ishaq al-Madaniy. Lahir di Baghdad pada tahun 108H dan wafat pada tahun 183 H. Menurut Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Ma’in, Abu Hatim beliau adalah seorang yang tsiqah. Guru-gurunya adalah Shalih bin Kaisan, az-Zuhriy, Hisyam bin Urwah, Sufwan bin Salim, Muhammad bin Ishaq, Syu’bah, dll.[6]
5)      Abdul Aziz bin Abdullah
Nama lengkapnya Abdul Aziz bin Abdullah bin Yahya bin Amru bin Uwais bin Sa’d. beliau merupakan thabaqat kesepuluh, guru-gurunya Ibrahim bin Sa’ad, Ishaq bin Ibrahim, Sa’id bin Abdurrahman, Abdullah bin Ja’far, Qasim bin Abdullah, dll. Murid-muridnya al-Bukhari, Ja’far bin Sulaiman, Abdul Malik bin Habib, Muhammad bin Abdullah, Harun bin Abdullah, dll. Ibnu Hajar dan al-Dahabi menilai tsiqah, menurut al-Khaliliy beliau tsiqah mutafaqn alaihi.[7]
6)      Al-Bukhari
Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad Ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhari. Dilahirkan pada hari Jum’at 13 Syawal 194H di Bukhara dan meninggal pada tahun 256H. Beliau ulama besar dibidang hadis, kredibilitas maupun kualitas intelektualnya tidak perlu diragukan lagi.[8]

Dari kajian sanad di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sanad hadis diatas memenuhi syarat keshahihan sanad. Semua syarat keshahihan sanad telah dapat terpenuhi. Syarat-syarat keshahihan sanad ialah ketersambungan sanad (ittishal al-sanad), para perawinya kredibel (tsiqqahu al-ruwah), intelektualitas perawi (dhabtu al-ruwah). Semua rijal yang terlibat dalam periwayatan terbukti memiliki relasi sebagai guru-murid. Kredibilitas maupun intelektualitas mereka juga tidak perlu dilakukan lagi. Tidak ada seorang perawi pun yang berstatus dhaif. Tidak ada cela ('illat) pada para rijal tersebut.
C.     Dalil-dalil yang setema
1.      Hadis diperbolehkannya Haji lebih dari satu kali

حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِيُّ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَنْبَأَنَا سُفْيَانُ بْنُ حُسَيْنٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سِنَانٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ الْأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ الْحَجُّ فِي كُلِّ سَنَةٍ أَوْ مَرَّةً وَاحِدَةً قَالَ بَلْ مَرَّةً وَاحِدَةً فَمَنْ اسْتَطَاعَ فَتَطَوَّعَ
Telah menceritakan kepada kami Ya'qub bin Ibrahim Ad Dauraqi; telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun; telah memberitakan kepada kami Sufyan bin Husain dari Az Zuhri dari Abu Sinan dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhu. Bahwa Al Aqra' bin Habis bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; "Wahai Rasulullah, (apakah) haji itu wajib dilaksanakan setiap tahun atau sekali saja seumur hidup?" Rasulullah menjawab: 'Haji itu wajib hanya sekali. Maka barang siapa mampu, maka hendaknya melaksanakan haji yang sunnah.' (HR. Ibnu Majah: 2886)[9]

2.      Keutamaan Shadaqah
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعَلَى قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ حَفْصَةَ عَنْ أُمِّ الرَّائِحِ عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdul A'la dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Khalid dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Ibnu 'Aun dari Hafshah dari Ummu Ar Raaih dari Salman bin 'Amir dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya sedekah kepada orang miskin pahalanya satu sedekah, sedangkan sedekah kepada kerabat pahalanya dua; pahala sedekah dan pahala silaturrahim." (HR. An-Nasa’i: 2578)[10]

3.      QS. At-Taubah[9]: 19-20
أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللّهِ لاَ يَسْتَوُونَ عِندَ اللّهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ 

Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim .

الَّذِينَ آمَنُواْ وَهَاجَرُواْ وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِندَ اللّهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ 

orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.
4.      Tidak membiarkan tetangganya kelaparan
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبَايَةَ بْنِ رِفَاعَةَ قَالَ بَلَغَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ سَعْدًا لَمَّا بَنَى الْقَصْرَ قَالَ انْقَطَعَ الصُّوَيْتُ فَبَعَثَ إِلَيْهِ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ فَلَمَّا قَدِمَ أَخْرَجَ زَنْدَهُ وَأَوْرَى نَارَهُ وَابْتَاعَ حَطَبًا بِدِرْهَمٍ وَقِيلَ لِسَعْدٍ إِنَّ رَجُلًا فَعَلَ كَذَا وَكَذَا فَقَالَ ذَاكَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ فَخَرَجَ إِلَيْهِ فَحَلَفَ بِاللَّهِ مَا قَالَهُ فَقَالَ نُؤَدِّي عَنْكَ الَّذِي تَقُولُهُ وَنَفْعَلُ مَا أُمِرْنَا بِهِ فَأَحْرَقَ الْبَابَ ثُمَّ أَقْبَلَ يَعْرِضُ عَلَيْهِ أَنْ يُزَوِّدَهُ فَأَبَى فَخَرَجَ فَقَدِمَ عَلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَهَجَّرَ إِلَيْهِ فَسَارَ ذَهَابَهُ وَرُجُوعَهُ تِسْعَ عَشْرَةَ فَقَالَ لَوْلَا حُسْنُ الظَّنِّ بِكَ لَرَأَيْنَا أَنَّكَ لَمْ تُؤَدِّ عَنَّا قَالَ بَلَى أَرْسَلَ يَقْرَأُ السَّلَامَ وَيَعْتَذِرُ وَيَحْلِفُ بِاللَّهِ مَا قَالَهُ قَالَ فَهَلْ زَوَّدَكَ شَيْئًا قَالَ لَا قَالَ فَمَا مَنَعَكَ أَنْ تُزَوِّدَنِي أَنْتَ قَالَ إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ آمُرَ لَكَ فَيَكُونَ لَكَ الْبَارِدُ وَيَكُونَ لِي الْحَارُّ وَحَوْلِي أَهْلُ الْمَدِينَةِ قَدْ قَتَلَهُمْ الْجُوعُ وَقَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَشْبَعُ الرَّجُلُ دُونَ جَارِهِ آخِرُ مُسْنَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدِيثُ السَّقِيفَةِ              
Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari bapaknya dari 'Abayah Bin Rifa'ah dia berkata; telah sampai berita kepada Umar bahwa ketika Sa'd membangun istana, dia berkata; "Terputuslah suara (komunikasi) ". Maka diutuslah Muhammad Bin Maslamah kepadanya, ketika dia datang dia mengeluarkan lengan tangannya dan menyalakan api kemudian membeli kayu bakar dengan dirham, kemudian dikatakanlah kepada Sa'd; "Sesungguhnya seseorang telah melakukan begini dan begini, " lalu dia menjawab; "Dia adalah Muhammad Bin Maslamah." Kemudian dia keluar menemuinya dan bersumpah kepada Allah bahwa dia tidak mengatakannya, lalu dia berkata; "Kami akan melaksanakan -darimu- apa yang kamu katakan, dan kami melaksanakan apa yang diperintahkan kepada kami, " maka dia membakar pintu, kemudian dia menghadap kepadanya kemudian Sa'd menawarkan memberi bekal namun dia menolak. Kemudian Muhammad Bin Maslamah berangkat kembali kepada Umar, dan dia berjalan pulang menuju kepadanya selama sembilan belas hari, kemudian Umar berkata; "Seandainya bukan karena baik sangka kepadamu maka kami akan berkesimpulan bahwa kamu belum melaksanakan keinginan kami, " dia menjawab; "Ya, dia mengirim salam dan meminta maaf serta bersumpah kepada Allah bahwa dia tidak mengucapkannya." Kemudian Umar bertanya; "Apakah dia membekalimu?" Dia menjawab; "Tidak" Umar berkata; "Apa yang menghalangimu untuk membekaliku?" Dia menjawab; "Aku tidak suka menyuruh kepadamu, kamu menjadi dingin sementara aku menjadi panas, dan di sekitarku adalah orang-orang Madinah yang mati kelaparan, padahal aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah seseorang menjadi kenyang sementara tetangganya kelaparan." Hadits terakhir dari musnad Umar Bin Al Khaththab adalah hadits tentang Saqifah      

5.      Surat al-Hajj

لِّيَشۡهَدُواْ مَنَٰفِعَ لَهُمۡ وَيَذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٖ مَّعۡلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلۡأَنۡعَٰمِۖ فَكُلُواْ مِنۡهَا وَأَطۡعِمُواْ ٱلۡبَآئِسَ ٱلۡفَقِيرَ ٢٨
28. supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir
D.    Penjelasan Hadis
1.      Syarah Hadis
Dalam kitab Fathul Bari, dijelaskan bahwa kata iman dan haji disebutkan dalam bentuk nakirah (indefinit) untuk menunjukkan arti tunggal sedangkan jihad disebutkan dalam bentuk ma’rifat (definit) untuk menunjukakan arti kesempurnaan. Sebab jika jihad hanya dilakukan sekali padahal seharusnya dilakukan terus menerus maka tidak lagi afdhal (tidak utama).[11]
Dalam hadis ini kata jihad disebutkan setelah iman sedangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar tidak disebutkan kata jihad tapi yang disebutkan adalah al ‘Itqu (membebaskan budak).. dalam hadis Ibnu Mas’ud urutannya dimulai dengan shalat, berbakti kepada orang tua kemudian jihad, dan dalam hadis yang lalu telah disebutkan “selamat dari tangan mulut”.[12]
Para ulama mengatakan bahwa perbedaan tersebut disebutkan karena perbedaan kondisi dan kebutuhan para pendengar. Maka para penanya dan pendengar diberitahuakan tentang hal-hal yang belum mereka ketahui. Atau hadis tersebut mengandung kata “ min” yang berarati “ bagian”, sebagaiman hadis Nabi “Khairukum kharukum li ahlihi (sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang yang paling baik kepada keluarganya).” Jika ada pertanyan,”Mengapa jihad yang tidak termasuk dalam rukun Islam lebih didahulukan daripada haji yang merupakan rukun Islam?” jawabnya adalah bahwa manfaat haji sifatnya terbatas sedangkan manfaat jihad sangat luas.” Atau mungkin karena hukum jihad adalah fardhu ‘ain. Hal ini telah berulang kali disebutkan sehingga jihad lebih penting dan dikedepankan dari pada haji.[13]
   حَجُّ مَبْرُورٌ(haji yang mabrur) yang dimaksud dengan haji mabrur adalah haji yang diterima. Sebagian orang berpendapat haji mabrur adalah haji yang tidak dicampuri dengan dosa atau haji yang tidak mengandung unsur riya’.[14]
2.      Kontekstualitas Hadis
1)      Pengertian Haji
Haji dalam bahasa Arab, artinya pergi menuju, al-Khalil berkata,”Haji artinyasering pergi ke orang yang kau agungkan.
Menurut pengertian syari’at haji artinya pergi ke Ka’bah untuk melaksakan amalan-amalan tertentu atau berziarah ke tempat tertentu pada waktu tertentu guna melaksanakan amalan tertentu. Ziarah artinya pergi. Tempat tertentu adalah Ka’bah dan ‘Arafah. Waktu tertentu adalah bulan-bulan haji, yaitu Syawal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah serta sepuluh harai pertama Dzulhijjah. Masing-masing amalan punya waktu khusus. Misalnya, waktu thawaf (menurut jumhur) adalah sejak terbit fajar di hari Kurban sampai akhir umur, waktu wukuf di Arafah adalh sejak condongnya  matahati di hari Arafah hingga ternitnya fajar pada hari Kurban. Amaln artinya dating dalam keadaan berihram dengan niat berhaji (pergi) ke tempat-tempat tertentu.
      Haji diwajibkan pada akhir tahun 9 Hijriah. Ayat yang mewajibkannya adalah firman Allah SWT QS, ali ‘Imran ayat 97, ayat ini turun pada ‘Amul Wufuud (tahun datangnya berbagai delegasi yang menyatakan masuk Islam) di tahun 9 H. Ini adalah  pendapat mayoritas ulama. Setelah haji diwajibkan Nabi SAW menunda pelaksanaannya tapi tidak satu tahun penuh, beliau menundanya sampai tahun 10 H yaitu karena ayat tersebut turun setelah habisnya waktu haji. Footnote sama no 1
Haji adalah rukun Islam yang kelima, Allah mewajibkannya atas orang yang mampu. Demikian pula umrah. Kedua-dua wajib menurut madzhab Syafi’I dan Hambali berdasarkan firmannya QS. Al-Baqarah ayat 196. Sedangkan menurut madzhab Maliki dan Hanafi umrah adalah sunnah.[15]
      Sedangkan pengertian haji mabrur menurut bahasa, kata mabrur berasal dari Bahasa Arab yang artinya mendapatkan kebaikan atau menjadi baik. Kalau dilihat akar katanya kata mabrur berasal dari kata barra “berbuat baik atau patuh”. Dari kata barra kita bisa mendapatkan kata birrun, al-birru  yang artinya kebaikan. Jadi al-hajj al-mabrur artinya haji yang mendapatkan birrun (kebaikan). Dan sering juga kita artikan sebagai ibadah haji yang diterima Allah SWT, dengan kata lain haji yang mendapatkan kebaikan atau haji yang (pelakunya) menjadi baik.[16]
Keutamaan dari haji mabrur itu sendiri yaitu dengan dijanjikannya balasan surga bagi orang yang telah menunaikan haji mabrur, selain itu masyarakat juga menganggap bahwa ibadah haji juga merupakan suatu ibadah yang utama. Sehingga hal itu mendorong sebagian orang ketika mereka memilki harta lebih memilih untuk terus melakukan ibadah haji, karena anggapan mereka bahwa ibadah haji adalah ibadah yang terbaik. Padahal kewajiban berhaji hanyalah sekali seumur hidup, sedang haji yang berikutnya adalah haji sunnah.
Melihat konteks masyakat Indonesia saat ini apakah ibadah haji, terutama ibadah haji sunnah menjadi amalan yang utama?
Berangkat dari masalah tersebut, menurut Yusuf al-Qordhawi kita harus menentukan mana yang lebih prioritas. Untuk bisa menentukan mana yang lebih prioritas diperlukan kaidah-kaidah syari’at:
Pertama, Allah tidak berkenan menerima ibadah sunah sebelum ibdah yang fardhu ditunaikan. Misalnya ketika seseorang mampu melaksakan ibadah haji sunah namun dia enggan mengeluarkan zakat maka hajinya tertolak. [17]
Kedua, Allah tidak berkenan menerima ibadah sunah yang mengakibatkan atau bahkan mendorong hal yang diharamkan. Jika banyaknya jumlah orang yang menunaikan ibadah haji sunnah, sekiranya dapat mengganggu jamaah haji lainnya sehingga harus berdesak-desakan atau menimbulkan kesusahan merebaknya wabah penyakit dan jatuhnya korban jiwa akibat terinjak injak sesama jamaah haji tanpa disadari atau disadari, namun tidak bisa terhindarkan karena jamaah tidak dapat bergerak maju atau mundur maka kepadatan itu wajib dikurang dengan cara apapun. [18]
Ketiga, menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat, apalagi kerusakan yang bersifat umum dan dampaknya merata, sementara manfaat itu bersifat khusus dan pengaruhnya terbatas. [19]   Misalnya apabila kemaslahatan itu hanya untuk sebagian orang yang melakukan haji sunah berkali-kali sedangkan dibalik itu terdapat mafsadat umum bagi beribu-ribu bahkan beratus-ratus ribu jamaah haji, maka mafsadat ini wajib dicegah dengan mencegah sesuatu yang menjadi penyebabnya yaitu berjejal jejalnya orang yang menunaikan haji sunah. [20]
Keempat, pintu-pintu kebaikan yang sunnah sangatlah luas beragam dan banyak. Allah tidak membuat kesempitan bagi hamba-hambanya dalam hal ini. Seorang mukmin yang bijaksana mampu membuat perhitungan sekala proritas terhadap kedaan dirinya secara tepat, sesuai dengan waktu, situasi, dan kondisi di sekitarnya. [21]
Ketika ibadah haji sunah menimbulkan banyak mudharat, maka lebih baiknya uang tersebut digunakan untuk kegiatan social, atau menyalurkan kepada orang-orang yang lebih membutuhkan. Seperti sedekah, lebih-lebih jika masih ada kerabat yang masih kekurangan, menymbangkan hartanya untuk lembaga-lembaga keagamaan, sekolah-sekolah, maupun badan-badan social. Menurut informasi dari BPS bahwa kemiskinan di Indonesia mencapai 28 513,57 ribu jiwa. Hal itu membuktikan bahwa betapa banyaknya orang-orang yang berhak mendapatkan uluran tangan kita. Karena bersedakah juga merupakan ibadah yang dianjurkan, seperti dalam hadis:
الصدقة على المسكين صدقة و على ذى الرحم ثنتان : صدقة وصلة                                      
“bersedekah kepada orang miskin bernilai sebagai satu sedekah sedangkan bersedakah pada famili mempunyai nilai dua, yaitu sebagai sedekah penyambung kekeluargaan.” (hadis riwayat Ahmad, Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Hakim) [22]
Terkadang bersedekah hukumnya bisa meningkat menjadi wajib maka jika kita mengabaikan maka berdosa. 
E.     Kesimpulan
Haji mabrur bukan menjadi amalan yang utama, karena haji tidak harus diulang setiap tahunnya. Beda halnya dengan jihad yang harus selalu diulang, karena manfaat haji terbatas untuk perorang sedangkan jihad bermanfaat luas. Salah satu bentuk jihad adalah bersedekah dijalan Allah, karena bersedekah membantu fakir miskin sehingga mereka dapat merasakan hidup yang lebih layak. Selain itu, melihat kondisi antrian haji dan juga banyaknya jamaah haji yang kemungkinan menimbulkan madharat seperti banyak terinjak-injak dan memakan korban jiwa, maka lebih utama meninggalkan haji sunnah dan menyalurkan hartanya pada lembaga-lembaga sosial maupun pendidikan serta menyalurkan bantuan kepada fakir miskin. Karena peka terhadap lingkungan sosial juga merupakan salah satu indikasi kemabruran. Hal itu juga dapat memberikan peluang kepada orang-orang yang belum melaksakan haji dengan mengurangi antrian daftar haji.


Daftar Pustaka

Abdurrahman. Studi Kitab Hadis. Yogyakarta: Teras press. 2003.
Al-Qardhawi, Yusuf. 100 Tanya Jawab Haji dan Umrah. terj. Abdurrasyad Shiddiq. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2013.
Fatwa-Fatwa Kontemporer. terj. As’ad Yasi., jld. 1. Jakarta: Gema Insani Press. 1996.
AZ-Zuhaili. Wahbah. Fiqih Islan wa Adillah. terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. jld 3. Jakarta : Gema Insani. 2011.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Baari: Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah. 2004.
Imam al-Bukhari. Shahih Bukhari.  jld. 1. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 2008.
Majid, Nurchalis. Perjalanan Relegius Umrah dan Haji. Jakarta: Paramadina. 1997.
Wensick, A.J. al-Mu’jam al-Mufahras li al Faz al-Hadith al-Nabawiy: an al-kutub al-Sunah wa an Musnad al-Darimi, Muwatta’ Malik wa Musnad Ibn Hanbal. Jilid 2. Leiden: E.J. Brill. 1995





[1] Imam al-Bukhari, Shahih Bukhari, jld. 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008), hlm 512.
[2] A.J. Wensick, al-Mu’jam al-Mufahras li al Faz al-Hadith al-Nabawiy: an al-kutub al-Sunah wa an Musnad al-Darimi, Muwatta’ Malik wa Musnad Ibn Hanbal. Jld.2, (Leiden: E.J.Brill, 1995), hlm. 420.
[3] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib fi Rijal al-Hadis, jld. 4,  (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2004), hlm. 74-77.
[4] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, jld. 4, hlm. 74-77.
[5] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, jld 9, hlm. 385-387.
[6] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, jld. 1, hlm. 115-116.
[7] Al-Mizzi, Tahdzibu kamal fi asma’ al-rijal, dalam software Maktabah Syamilah.
[8] Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras press, 2003), hlm. 45.
[9] Ibnu Majah al-Qazwiny, Sunan Ibnu Majah, (Semarang: Toha Putra, sa), hlm. 973.
[10] Jalaluddin Abdurrahman al Suyuti, Sunan al Nasa’I, (Beirut: Dar al Fikr, 2009), hlm. 94.
[11] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari : Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari, Gazirah Abdi Ummah, jlid 1, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2010), hlm 139.
[12] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari: Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari , hlm. 139
[13] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari: Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari , hlm. 140.
[14] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari : Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari, hlm 139.
[15] AZ-Zuhaili. Wahbah, Fiqih Islan wa Adillah, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jld 3, (Jakarta : Gema Insani, 2011), hlm 368.
[16] Nurcholis Majid, Perjalanan Relegius Umrah dan Haji, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 65.
[17] Yusuf al-Qaradhawi, 100 Tanya Jawab Haji dan Umrah, terj. Abdurrasyad Shiddiq, (jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013), hlm. 73
[18] Yusuf al-Qaradhawi, 100 Tanya Jawab Haji dan Umrah, hlm. 74
[19] Yusuf al-Qaradhawi, 100 Tanya Jawab Haji dan Umrah, hlm. 75
[20] Yusuf al-Qaradhawi, fatwa-Fatwa Kontemporer, terj. As’ad Yasin, jld. 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 443.
[21] Yusuf al-Qaradhawi, 100 Tanya Jawab Haji dan Umrah, hlm. 75.
[22] Yusuf al-Qaradhawi, fatwa-Fatwa Kontemporer, hlm. 444.