Kamis, 21 Mei 2015

Sedekah Laut di Kab. Kendal



 BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam datang ke Indonesia dengan kondisi bahwa masyarakat Indonesia sudah memiliki kebudayaan yang telah mengakar dalam jiwa mereka, yaitu  kebudayaan yang berasal dari agama Hindu dan Budha.  Pada abad ke-3 dan ke-4 Masehi, selain berdagang, orang-orang dari India Selatan tersebut membawa dan memperkenalkan agama Hindu dan Budha kepada penduduk di kepulauan Indonesia pada umumnya, dan penduduk pulau Jawa pada khususnya.
Tetapi sebelum datangnya agama Hindu dan Budha, masyarakat Jawa sudah mempunyai kepercayaan animisme dan dinamisme yang masih melekat pada sebagian masyarakat jawa sampai sekarang. Hal ini sebagaimana tampak dalam upacara slametan yang dilaksanakan oleh orang Jawa hampir pada semua peristiwa penting. Salah satunya adalah tradisi selametan atau sedekah laut yang biasa disebut dengan Tradisi Nyadran.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pertemuan antara Islam dan Kebudayaan Jawa?
2.      Apa makna Tradisi Nyadran menurut masyarakat Kabupaten Kendal?
3.      Bagaimana pelaksanaan Tradisi Nyadran di Kabupaten Kendal?


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pertemuan Antara Islam dan Kebudayaan Jawa
Proses penyebaran Islam di Pulau Jawa secara intensif diperkirakan berlangsung pada Abad ke-15 M dan ke-16 M. Hal ini terjadi ketika kekuasaan Majapahit sebagai kerajaan yang sendi-sendi kehidupannya ditegakkan berdasarkan perdagangan mulai berkurang, dan rute perdagangan bagian barat dari Kepulauan Nusantara berhasil dikuasai oleh kerajaan Malaka. Akibatnya banyak pedagang-pedagang Muslim dari Gujarat dan Persia yang akan mengunjungi pelabuahan di utara Pulau Jawa melakukan pelayaran melalui pantai timur Aceh dan Malaka. (Koentjaraningrat, 1994: 48-50). Sangat mungkin orang-orang dari Gujarat tersebut selain berdagang juga berdakwah dan menyebarkan agama Islam dengan melakukan komunikasi kebudayaan tentang gagasan-gagasan ahli mistik Islam (kaum Shufi).[1]
Kenyataan bahwa Islam yang masuk ke Pulau Jawa bukan Islam dalam bentuk murni, melainkan dalam bentuk yang sangat dipengaruhi oleh sufisme (mistik Islam), menyebabkan kedatangannya mendapat sambutan positif dari masyarakat setempat dan proses penyebarannya pun  berjalan relative mulus. Hal ini karena kondisi social budaya masyarakat Jawa sejak zaman sebelum masuknya agama Islam telah dipengaruhi oleh tradisi kebudayaan Hindu-Budha yang didominasi oleh unsur-unsur mistik (Koentjaroningrat, 1994 : 54). Dengan demikian itu semacam ada kesamaan antara kebudayaan lama dan kenudayaan baru sehingga keduanya bisa bertemu dengan damai.[2]
Selain itu, faktor lain yang besar kemungkinannya menjadi salah satu penyebab mudahnya Islam diterima masyarakat Jawa adalah karakteristik ajarannya yang bersifat egaliter. Hal ini berbeda dengan ajaran Hindu yang telah lebih dulu berkembang di Pulau Jawa yang membeda-bedakan masyarakat ke dalam beberapa strata social berdasarkan kasta. Akibatnya banyak penduduk jawa yang tertarik mempelajari Islam dan meninggalkan kepercayaan lama yang telah mereka anut, meskipun tidak secara total. Masih ada beberapa sisa-sisa kepercayaan Hindu-Budha yang tetap dipelihara oleh sebagian masyarakat, termasuk sisa-sisa kepercayaan animisme-dinamisme.[3]
Salah bentuk akulturasi Islam dan Kebudayaan Lokal adalah selametan. Ritus selametan dipraktekkan baik oleh priyayi, abangan, dan santri. Slametan bisa dipahami dalam bentuk sinkretisme mitos dan ritual yang seimbang sehingga dewa-dewi Hindu, Nabi dan orang-orang suci Islam, roh-roh dan setan-setan setempat, semuanya memperoleh tempat-tempatnya sendiri.
Selametan dalam masyarakat Jawa diaplikasikan dalam berbagai bentuk ritual atau upacara adat, diantaranya adalah sedekah laut atau Tradisi Nyadran yang dilakukan oleh masyarakat  Jawa yang tinggal di daerah pesisir pantai utara Jawa khususnya di Kabupaten Kendal.

B.     Sedekah Laut atau Tradisi Nyadran di Kabupaten Kendal
Tradisi Nyadran di Kabupaten Kendal merupakan bentuk dari sedekah laut yang dilakukan oleh para Nelayan dan penduduk di sekitar pesisir pantai utara Kabupaten Kendal. Tradisi tersebut merupakan warisan dari nenek moyang yang masih dilestarikan sampai sekarang. Belum diketahui kapan Tradisi Nyadran di daerah tersebut mulai dilaksakan. Nyadran atau sedekah laut merupakan ritual tahunan yang biasa dilaksanakan pada hari Jum’at Kliwon bulan Syura.
Banyak unsur-unsur animisme yang terdapat dalam upacara tersebut, tetapi juga terdapat unsur-unsur Islam. Unsur-unsur animisme tersebut diperkirakan berasal dari zaman pra-islam. Sedangkan unsur-unsur Islam merupakan pengaruh Islamisasi yang dilakukan oleh para Wali Sanga dalam penyebaran agama Islam di Jawa khususnya daerah Jawa Tengah.
Bagi masyarakat nelayan  dan sekitarnya, upacara nyadran merupakan tradisi leluhur yang harus dilestarikan, betapapun ada pihak-pihak yang menginginkan untuk dihilangkan. Bagi mereka, nyadran dianggap sebagai bentuk tasyakuran atau ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, alam, dan penunggu laut atas limpahan rejeki yang mereka terima.
Bagi masyarakat nelayan setempat, perayaan nyadran sangat penting. Di samping melestarikan budaya warisan leluhur, mereka juga yakin dengan mengadakan ritual tahunan ini keselamatan dan rejeki mereka di laut akan terjamin. Jadi, acara ini mereka lakukan sebagai bentuk syukuran bersama dan sekaligus sarana meminta perlindungan supaya mereka tetap berada dalam kondisi slamet.

C.     Prosesi Sedekah laut atau Tradisi Nyadran
Tradisi Nyadran diberbagai daerah di pesisir pantai utara Jawa memiliki prosesi yang berbeda-beda. Nyadran di Kabupaten Kendal dilakukan setiap satu tahun sekali pada hari Jum’at Kliwon di bulan Syura. Menurut penduduk setempat dua belas hari sebelum acara nyadran dimulai, biasanya warga sekitar mengadakan jalan-jalan ke pantai tempat diadakannya tradisi nyadran yang  juga telah diramaikan oleh para pedagang dan berbagai hiburan rakyat. Tiga malam sebelumnya warga sekitar juga mengadakan pagelaran wayang kulit, layar tancep dan kethoprak.
Dalam pelaksanaan nyadran masyarakat mengadakan iuran yang dikoordinir oleh kepala desa untuk membeli kerbau dan keperluan nyadran lainnya seperti sembako, buah-buahan, pakaian kembang, dan janur. Sehari sebelum disembelih kerbau diarak keliling desa. Setelah disembelih, kepala kerbaunya diambil, sedangkan daging kerbaunya dibagikan kepada semua warga desa. Kemudian kepala kerbaunya  dilarungkan bersama sembako, pakaian kembang dan janur tadi menggunakan perahu dan diiringi perahu-perahu kecil yang berisi buah-buahan beserta jajanan pasar. Sebelum proses pelarung ke tengah laut dibacakan doa-doa keselamatan terlebih dahulu, di sini lah letak unsur islaminya.[4]
Warga setempat ataupun pengunjung banyak ikut ke tengah laut untuk menyaksikan acara pelarung tersebut. Bagi para pengunjung yang ingin ikut ke tengah laut biasa menyewa perahu yang ditawakan oleh para nelayan,. Dengan demikian acara sedekah laut atau nyadran ini bisa menjadi sumber penghasilan tambahan bagi para nelayan.  Setelah sampai ke tengah laut biasanya warga berebut untuk mengambil bahan sembako yang dilarungkan tadi. Karena dipercayai oleh masyarakat setempat akan mendapatkan berkah. Setelah acara selesai masyarakat dihibur dengan berbagai hiburan seperti dangdut.[5]
Dalam tradisi nyadran, syukuran yang dilengkapi dengan doa dan mantra adalah merupakan ritual inti. Ini dilakukan sebagai timbal balik mereka atas rejeki yang mereka peroleh selama ini dan harapan atas rejeki yang akan datang. Doa yang dipanjatkan berupa do’a islami yang meminta keselamat kepada Allah.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Suku jawa merupakan salah satu suku di Indonesia yang memiliki kepercayaan animisme-dinamisme yang tinggi. Kepercayaan tersebut mulai muncul sebelum datangnya agama Hindu-Budha ke Pulau Jawa. Mereka sudah mempercayai unsur-unsur mistik  telah mengakar bahkan sudah menjadi tradisi kebudayaan masyarakat Jawa itu sendiri. Oleh karena itu, saat Islam datang ke Pulau Jawa dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa, karena Islam yang datang bukan berupa Islam yang murni melainkan Islam yang bersifat sufistik.
Hal diatas tidak lepas dari peran wali sanga dalam memperjuangkan atau menyebarkan ajaran Islam di pulau Jawa. Wali sanga dalam menyebarkan agama Islam salah satunya dengan menggunakan seni wayang sebagai metode dakwahnya. Hal itu menunjukkan bahwa wali sanga tidak menghilangkan kebudayaan masyarakat yang telah mengakar di masyarakat. Dengan demikian terciptalah akulturasi antara Islam dan kebudayaan lokal di Jawa, salah satunya adalah sedekah laut atau masyarakat Kendal menyebutnya dengan Tradisi Nyadran.
Tradisi nyadran merupakan bentuk dari sedekah laut yaitu sebagai ungkapan rasa syukur para nelayan dan masyarakat pesisir pantai utara jawa, khususnya daerah Kendal atas rezeki yang dilimpahkan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam tradisi nyadran terdapat unsur-unsur animisme-dinamisne, tetapi juga terdapat unsur-unsur Islam yang terdapat dalam doa-doa yang dipanjatkan dalam ritual tersebut. Selain itu, tradisi ini juga mengandung nilai social yaitu dilihat dari kerukunan masyarakat dalam menyelenggarakan ritual nyadran tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Sugiyono, Sugeng, dkk (ed.). Menguak Sisi-sisi Khazanah Peradaban Islam.  Yogyakarta: Adab Press. 2008
Wawancara kepada bapak Anam warga Desa Tawang Kendal pada 8 Desember 2014.





[1] Sugeng Sugiono, dkk (ed.), Menguak Sisi-sisi Khazanah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Adab Press), hlm. 128
[2] Sugeng Sugiono, dkk (ed.), Menguak Sisi-sisi Khazanah, hlm. 129
[3] Sugeng Sugiono, dkk (ed.), Menguak Sisi-sisi Khazanah, hlm. 129
[4] Wawancara dengan penduduk Desa Tawang pada 8 Desember 2014
[5] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar