BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam datang ke Indonesia dengan kondisi bahwa
masyarakat Indonesia sudah memiliki kebudayaan yang telah mengakar dalam jiwa
mereka, yaitu kebudayaan yang berasal
dari agama Hindu dan Budha. Pada abad
ke-3 dan ke-4 Masehi, selain berdagang, orang-orang dari India Selatan tersebut
membawa dan memperkenalkan agama Hindu dan Budha kepada penduduk di kepulauan
Indonesia pada umumnya, dan penduduk pulau Jawa pada khususnya.
Tetapi sebelum datangnya agama Hindu dan Budha, masyarakat
Jawa sudah mempunyai kepercayaan animisme dan dinamisme yang masih melekat pada
sebagian masyarakat jawa sampai sekarang. Hal ini sebagaimana tampak dalam
upacara slametan yang dilaksanakan oleh orang Jawa hampir pada semua peristiwa
penting. Salah satunya adalah tradisi selametan atau sedekah laut yang biasa
disebut dengan Tradisi Nyadran.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
pertemuan antara Islam dan Kebudayaan Jawa?
2. Apa
makna Tradisi Nyadran menurut masyarakat Kabupaten Kendal?
3. Bagaimana
pelaksanaan Tradisi Nyadran di Kabupaten Kendal?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pertemuan
Antara Islam dan Kebudayaan Jawa
Proses
penyebaran Islam di Pulau Jawa secara intensif diperkirakan berlangsung pada
Abad ke-15 M dan ke-16 M. Hal ini terjadi ketika kekuasaan Majapahit sebagai kerajaan
yang sendi-sendi kehidupannya ditegakkan berdasarkan perdagangan mulai
berkurang, dan rute perdagangan bagian barat dari Kepulauan Nusantara berhasil
dikuasai oleh kerajaan Malaka. Akibatnya banyak pedagang-pedagang Muslim dari
Gujarat dan Persia yang akan mengunjungi pelabuahan di utara Pulau Jawa
melakukan pelayaran melalui pantai timur Aceh dan Malaka. (Koentjaraningrat,
1994: 48-50). Sangat mungkin orang-orang dari Gujarat tersebut selain berdagang
juga berdakwah dan menyebarkan agama Islam dengan melakukan komunikasi
kebudayaan tentang gagasan-gagasan ahli mistik Islam (kaum Shufi).[1]
Kenyataan
bahwa Islam yang masuk ke Pulau Jawa bukan Islam dalam bentuk murni, melainkan
dalam bentuk yang sangat dipengaruhi oleh sufisme (mistik Islam), menyebabkan
kedatangannya mendapat sambutan positif dari masyarakat setempat dan proses
penyebarannya pun berjalan relative
mulus. Hal ini karena kondisi social budaya masyarakat Jawa sejak zaman sebelum
masuknya agama Islam telah dipengaruhi oleh tradisi kebudayaan Hindu-Budha yang
didominasi oleh unsur-unsur mistik (Koentjaroningrat, 1994 : 54). Dengan
demikian itu semacam ada kesamaan antara kebudayaan lama dan kenudayaan baru
sehingga keduanya bisa bertemu dengan damai.[2]
Selain
itu, faktor lain yang besar kemungkinannya menjadi salah satu penyebab mudahnya
Islam diterima masyarakat Jawa adalah karakteristik ajarannya yang bersifat
egaliter. Hal ini berbeda dengan ajaran Hindu yang telah lebih dulu berkembang
di Pulau Jawa yang membeda-bedakan masyarakat ke dalam beberapa strata social
berdasarkan kasta. Akibatnya banyak penduduk jawa yang tertarik mempelajari
Islam dan meninggalkan kepercayaan lama yang telah mereka anut, meskipun tidak
secara total. Masih ada beberapa sisa-sisa kepercayaan Hindu-Budha yang tetap
dipelihara oleh sebagian masyarakat, termasuk sisa-sisa kepercayaan
animisme-dinamisme.[3]
Salah
bentuk akulturasi Islam dan Kebudayaan Lokal adalah selametan. Ritus selametan dipraktekkan baik oleh priyayi, abangan,
dan santri. Slametan bisa dipahami dalam bentuk sinkretisme mitos dan ritual
yang seimbang sehingga dewa-dewi Hindu, Nabi dan orang-orang suci Islam,
roh-roh dan setan-setan setempat, semuanya memperoleh tempat-tempatnya sendiri.
Selametan
dalam masyarakat Jawa diaplikasikan dalam berbagai bentuk ritual atau upacara
adat, diantaranya adalah sedekah laut atau Tradisi Nyadran yang dilakukan oleh
masyarakat Jawa yang tinggal di daerah
pesisir pantai utara Jawa khususnya di Kabupaten Kendal.
B. Sedekah
Laut atau Tradisi Nyadran di Kabupaten Kendal
Tradisi
Nyadran di Kabupaten Kendal merupakan bentuk dari sedekah laut yang dilakukan
oleh para Nelayan dan penduduk di sekitar pesisir pantai utara Kabupaten Kendal.
Tradisi tersebut merupakan warisan dari nenek moyang yang masih dilestarikan
sampai sekarang. Belum diketahui kapan Tradisi Nyadran di daerah tersebut mulai
dilaksakan. Nyadran atau sedekah laut merupakan ritual tahunan yang biasa
dilaksanakan pada hari Jum’at Kliwon bulan Syura.
Banyak
unsur-unsur animisme yang terdapat dalam upacara tersebut, tetapi juga terdapat
unsur-unsur Islam. Unsur-unsur animisme tersebut diperkirakan berasal dari
zaman pra-islam. Sedangkan unsur-unsur Islam merupakan pengaruh Islamisasi yang
dilakukan oleh para Wali Sanga dalam penyebaran agama Islam di Jawa khususnya daerah
Jawa Tengah.
Bagi
masyarakat nelayan dan sekitarnya,
upacara nyadran merupakan tradisi leluhur yang harus dilestarikan, betapapun
ada pihak-pihak yang menginginkan untuk dihilangkan. Bagi mereka, nyadran
dianggap sebagai bentuk tasyakuran atau ungkapan rasa syukur kepada Tuhan,
alam, dan penunggu laut atas limpahan rejeki yang mereka terima.
Bagi
masyarakat nelayan setempat, perayaan nyadran sangat penting. Di samping
melestarikan budaya warisan leluhur, mereka juga yakin dengan mengadakan ritual
tahunan ini keselamatan dan rejeki mereka di laut akan terjamin. Jadi, acara
ini mereka lakukan sebagai bentuk syukuran bersama dan sekaligus sarana meminta
perlindungan supaya mereka tetap berada dalam kondisi slamet.
C. Prosesi
Sedekah laut atau Tradisi Nyadran
Tradisi
Nyadran diberbagai daerah di pesisir pantai utara Jawa memiliki prosesi yang
berbeda-beda. Nyadran di Kabupaten Kendal dilakukan setiap satu tahun sekali
pada hari Jum’at Kliwon di bulan Syura. Menurut penduduk setempat dua belas
hari sebelum acara nyadran dimulai, biasanya warga sekitar mengadakan
jalan-jalan ke pantai tempat diadakannya tradisi nyadran yang juga telah diramaikan oleh para pedagang dan
berbagai hiburan rakyat. Tiga malam sebelumnya warga sekitar juga mengadakan
pagelaran wayang kulit, layar tancep dan kethoprak.
Dalam
pelaksanaan nyadran masyarakat mengadakan iuran yang dikoordinir oleh kepala
desa untuk membeli kerbau dan keperluan nyadran lainnya seperti sembako,
buah-buahan, pakaian kembang, dan janur. Sehari sebelum disembelih kerbau
diarak keliling desa. Setelah disembelih, kepala kerbaunya diambil, sedangkan
daging kerbaunya dibagikan kepada semua warga desa. Kemudian kepala kerbaunya dilarungkan bersama sembako, pakaian kembang
dan janur tadi menggunakan perahu dan diiringi perahu-perahu kecil yang berisi
buah-buahan beserta jajanan pasar. Sebelum proses pelarung ke tengah laut
dibacakan doa-doa keselamatan terlebih dahulu, di sini lah letak unsur
islaminya.[4]
Warga
setempat ataupun pengunjung banyak ikut ke tengah laut untuk menyaksikan acara
pelarung tersebut. Bagi para pengunjung yang ingin ikut ke tengah laut biasa
menyewa perahu yang ditawakan oleh para nelayan,. Dengan demikian acara sedekah
laut atau nyadran ini bisa menjadi sumber penghasilan tambahan bagi para nelayan.
Setelah sampai ke tengah laut biasanya
warga berebut untuk mengambil bahan sembako yang dilarungkan tadi. Karena
dipercayai oleh masyarakat setempat akan mendapatkan berkah. Setelah acara
selesai masyarakat dihibur dengan berbagai hiburan seperti dangdut.[5]
Dalam
tradisi nyadran, syukuran yang dilengkapi dengan doa dan mantra adalah
merupakan ritual inti. Ini dilakukan sebagai timbal balik mereka atas rejeki
yang mereka peroleh selama ini dan harapan atas rejeki yang akan datang. Doa
yang dipanjatkan berupa do’a islami yang meminta keselamat kepada Allah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Suku
jawa merupakan salah satu suku di Indonesia yang memiliki kepercayaan
animisme-dinamisme yang tinggi. Kepercayaan tersebut mulai muncul sebelum
datangnya agama Hindu-Budha ke Pulau Jawa. Mereka sudah mempercayai unsur-unsur
mistik telah mengakar bahkan sudah
menjadi tradisi kebudayaan masyarakat Jawa itu sendiri. Oleh karena itu, saat
Islam datang ke Pulau Jawa dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa,
karena Islam yang datang bukan berupa Islam yang murni melainkan Islam yang
bersifat sufistik.
Hal
diatas tidak lepas dari peran wali sanga dalam memperjuangkan atau menyebarkan
ajaran Islam di pulau Jawa. Wali sanga dalam menyebarkan agama Islam salah
satunya dengan menggunakan seni wayang sebagai metode dakwahnya. Hal itu
menunjukkan bahwa wali sanga tidak menghilangkan kebudayaan masyarakat yang
telah mengakar di masyarakat. Dengan demikian terciptalah akulturasi antara
Islam dan kebudayaan lokal di Jawa, salah satunya adalah sedekah laut atau
masyarakat Kendal menyebutnya dengan Tradisi Nyadran.
Tradisi
nyadran merupakan bentuk dari sedekah laut yaitu sebagai ungkapan rasa syukur
para nelayan dan masyarakat pesisir pantai utara jawa, khususnya daerah Kendal atas
rezeki yang dilimpahkan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam tradisi nyadran terdapat
unsur-unsur animisme-dinamisne, tetapi juga terdapat unsur-unsur Islam yang
terdapat dalam doa-doa yang dipanjatkan dalam ritual tersebut. Selain itu,
tradisi ini juga mengandung nilai social yaitu dilihat dari kerukunan
masyarakat dalam menyelenggarakan ritual nyadran tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Sugiyono,
Sugeng, dkk (ed.). Menguak Sisi-sisi Khazanah Peradaban Islam. Yogyakarta: Adab Press. 2008
Wawancara kepada bapak Anam warga Desa Tawang Kendal
pada 8 Desember 2014.
[1]
Sugeng Sugiono, dkk (ed.), Menguak Sisi-sisi Khazanah Peradaban Islam, (Yogyakarta:
Adab Press), hlm. 128
[2]
Sugeng Sugiono, dkk (ed.), Menguak Sisi-sisi Khazanah, hlm. 129
[3]
Sugeng Sugiono, dkk (ed.), Menguak Sisi-sisi Khazanah, hlm. 129
[4]
Wawancara dengan penduduk Desa Tawang pada 8 Desember 2014
[5]
ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar