BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam
adalah salah satu agama yang mengatur segala aspek kehidupan umat manusia,
salah satunya adalah aspek social. Baik mencakup hubungan antar umat Islam
maupun dengan umat agama yang lain. Dalam kehidupan social manusia tak lepas
dari interaksi dengan manusia lain. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan suatu
anugerah yang dimiliki manusia untuk melindungi hak-hak individu dalam
berinteraksi social.
Oleh
karena itu, kosep tentang HAM ramai diperbincangkan di berbagai belahan dunia.
Sehingga menghasilkan berbagai sudut pandang dalam memahami HAM. Dalam hal ini
Islam pun mempunyai sudut pandang dalam merepresentasikan HAM. Hal ini mendapat
tanggapan dari dunia Barat yang juga menjadi bagian dari pelopor HAM.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
HAM dalam perspektif Islam?
2. Bagaimana
HAM dalam perspektif Barat?
3. Bagaimana
hubungan Islam, HAM, dan Barat?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
HAM dalam
Perspektif Barat
Hak-hak
asasi manusia sesungguhnya merupakan bagian dari hakikat kemanusiaan yang
paling intrinsic, maka sejarah pertumbuhan konsep-konsepnya dan perjuangan
penegakkannya sekaligus menyatu dengan sejarah peradaban manusia itu sendiri.
Konsepsi
HAM di kalangan sejarawan Eropa tumbuh dari konsep hak (right) pada
yurisprodensi Romawi, kemudian meluas pada etika via teori hukum alam (natural
law). Konsep HAM dan demokrasi sebenarnya pertama-tama muncul buakn sebagai
reaksi atas absolutism negara melainkan sebagai akibat logis dari lahirnya
negara-negara kebangsaan. Tonggak-tonggak sosialisasi kemunculan atau
perkembangan HAM adalah sebagi berikut:
1. Munculnya
perjanjian Agung (Magna Charta) di Inggris pada 15 Juni 1215, sebagai bagian
dari pemberontakan para Baron terhadap Raja John (saudara Raja Richard Berhati
Singa, seorang pemimpin tentara salib). Isi pokok dokumen itu ialah hendaknya
raja tidak melakukan pelanggaran terhadap hak miliki dan kebebasan pribadi
seorang pun dari rakyat (sebenarnya cukup ironis bahwa pendorong pemberontakan
para baron itu sendiri antara ialah
dikenakannya pajak yang sangat besar, dan dipaksakannya para baron untuk
memperbolehkan anak-anak perempuan mereka kawin dengan rakyat biasa). Selain
itu, Magna Charta juga memuat penegasan bahwa tiada seorang pun boleh ditangkap
atau dipenjarakan atau diusir dari negerinya atau dibinasakan tanpa secara sah
diadili oleh hakim-hakim yang sederajat dengannya.
2. Keluarnya
Bill of Rights pada tahun 1628, yang berisi penegasan tentang pembatasan
kekuasaaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan kekuasaan
terhadap siapapun, atau untuk memenjarakan, menyiksa, dan mengirimkan tentara
kepada siapapun, tanpa dasar hukum.
3. Deklarasi
kemerdekaan Amerika Serikat pada 6 Juli 1776,
yang memuat penegasan bahwa setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan
kebebasan dengan hak untuk hidup dan mengejar kebahagian, serta keharusan
mengganti pemerintahan yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan dasar
tersebut.
4. Deklarasi
Hak-hak Asasi Mnusia dan Warga Negara (Declaration des Droits de I’Homme et
du Citoyen/ Declaration of the Rights of Man and of the citizen) dari
Perancis pada 4 Agustus 1789, dengan titik berat kepada lima hak asasi
pemilikan harta , kebebasan, persamaan, keamanan, dan perlawanan terhadap
penindasan.
5. Deklarasi
Universal tentang hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Rights/ UDHR), pada 10 Desember 1948, yang memuat pokok-pokok tentang
kebebasan, persamaan, pemilikan harta, dan hak-hak dalam perkawinan,
pendidikan, hak kerja, dan kebebasab beragama.[1]
Dari
perkembangan historis diatas, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan filosofis
yang tajam, baik dari segi nilai maupun orientasi. Di Inggris menekanakn pada
oembatasan raja, di Amerika Serikat mengutamakan kebebasan individu, di
Perancis memprioritaskan egalitarianism persamaan kedudukan dihadapan hukum, di
Rusia tidak diperkenalkan hak individu, tetapi hanya mengakui hak social dan
kolektif.[2]
UDHR/DUHAM
dipandang sebagai puncak konseptualitas HAM sejagat, apa yang tertuang
didalamnya dilihat dari perspektif perkembangan generasi HAM adalaha termasuk
kedalam generasi pertama dari empat generasi HAM yang ada.
Generasi
HAM kedua menyusul pada keinginan yang kuat masyarakat global untuk memberikan
kepastian terhadap masa depan HAM yang melebar pada aspek social, ekeonomi dan
budaya. Generasi HAM yang ketiga merupakan perkembangan pemikiran HAM yang
mengalami peningkatan kea rah kesatupaduan antara hak-hak ekonomi, social,
budaya, politik dan hukum dalam “satu keranjang” yang disebut dengan hak-hak
melaksanakan pembangunan.
Sebagai
sebuah proses dialektika, pemikiran HAM akhirnya memasuki tahap penyempurnaan
sampai munculnya generasi HAM keempat yang mengkritik peranan negara yang
sangat dominan dalam proses pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi,
sehingga menimbulkan dampak negative seperti diabaikannya berbagai aspek
kesejahteraan masyarakat. Munculnya generasi ini dipelopori oleh negara-negara
di kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi Ham yang dikenal
dengan Declaration of the Basic of Asia People and Government. [3]
B.
HAM dalam
Perspektif Islam
HAM
menurut Islam adalah hak yang tidak semena-mena berupa aturan yang dibuat oleh
manusia dalam menjaga tatanan masyarakat yang adil dan berperikemanusiaan,
tetapi lebih dari itu merupakan sesuatu yang melekat pada diri manusia sejak
dilahirkan (fitrah manusia). Islam menempatkan manusia sejajar dengan manusia
lainnya. Menurut ajaran Islam, perbedaan seseorang dengan orang lainnya terjadi
bukan karena haknya sebagai seorang manusia, melainkan disebabkan oleh keimanan
dan kesalehannya. Namun hal itu tidak membedakan manusia secara social.[4]
Dalam
totalitas Islam, kewajiban manusia kepada Allah mencakup juga kewajibannya
kepada setiap individu yang lain. Maka secara paradox hak-hak setiap individu
itu dilindungi oleh segala kewajiban di bawah hukum ilahi. Hal ini menunjukkan
bahwa menurut pandangan Islam, konsep HAM bukan hasil evolusi apapun dari
pemikiran manusia, namun merupakan hasil dari wahyu ilahi yang telah diturunkan
melalui NAbi dan Rasul dari sejak permulaan eksistensi manusia di bumi.[5]
Sejumlah
sejarawan Islam telah membuktikan bahwa kehadiran Muhammad sebagai pembawa
ajaran Islam terakhir merupakan pembebasan manusia dari berbagai bentuk
penindasan hak asasi manusia. Tradisi budaya jahiliyah yang melegitimasi
perdudakan, diskriminasi rasial, diskriminasi terhadap wanita atas nama iman
dalam suatu keyakian yang keliru dikikis oleh Islam.[6]
Hasbi
ash-Shiddieqy sebagaimana dikuti Ahmad Syafi’I Ma’arif, menjelaskan prinsip
dasar tentang HAM dalam Islam, yaitu:
1. Hak
hidup dan keselamatan diri, serta untuk memperoleh perlindungan diri,
kehormatan dan harta.
2. Hak
merdeka beragama dan menganut sesuatu paham.
3. Hak
mempunyai hak milik dan fungsi social dari hak milik itu tanpa ada
diskriminasi.
4. Hak
memilih pekerjaaan yang sesuai bagi kemanusiaan.
5. Hak
kemerdekaan berpikir, mengeluarksn pendapat, dan hak memperoleh pengajaran dan
pendidikan.
Perkembangan
sejarah HAM dalam Islam pada akhir-akhir ini, dapat dilihat dalam berbagi upaya
sebagian ahli, sarjana, pemuka agama atau intelektual Muslim dimulai sejak
pertemuan Abu Dhabi pada tahun 1977 yang menghasilkan apa yang disebut sebagai
“Deklarasi Islam Universal Tentang Hak Asasi Manusia” pada awal 80-an.
Deklarasi
hak-hak asasi manusia menegaskan bahwa Islam telah memberikan suatu peraturan
ideal tentang hak-hak asasi manusia kepada umat manusia empat belas abad yang
lalu. Hak-hak tersebut dimaksudkan untuk menganugerahi manusia kehormatan dan
martabat serta menghapuskan pemerasan, penindasan dan ketidak adilan. Hak-hak
asasi manusia dalam Islam bersumber dari suatu kepercayaan bahwa Allah, dan
hanya Allah pemberi hukum dan sumber dari segala hak-hak asasi manusia. Karena
bersumber dari Tuhan, maka tak seorang penguasa pun, pemerintah, majelis atau
ahli yang bisa membatasi atau melanggar dengan dosa apapun hak-hak asasi manusia
yang telah dianugerahkan Tuhan. Demikian pula hak-hak tersebut tidak boelh
dilepaskan dari manusia.[7]
Kalau
kita mencermati sevara seksama petunjuk al-Qur’an sebagai basis keuniversalan
pelaksanaan ajaran Islam maka Nampak jelas bahwa hak asasi manusia sangat
terkait dengan hukum-hukum Allah, artinya apabila manusia menjalankan
perintah-perintah Allah maka dengan sendirinya hak-hak asasi manusia akan
terlindungi, akan tetapi bila terjadi sebaliknya maka yang terjadi adalah
pelanggaran tentang hak-hak asasi manusia. Hal ini dapat dilihat beberapa ayat
al-Qur’an yang menegaskan tentang kewajiban manusia untuk melindungi dan
menjaga hak-hak orang lain, seperti hak hidup yang tercermin dalam surat
al-Baqarah ayat 178.
Ayat
tersebut memberikan pesan tentang jaminan kelangsungan hidup manusia dengan
diterapkannya hukum qishas. Secara normative penerapan hukum qishas dalam
ajaran agama Islam tidak sekedar berorientasi kepada pelaku (pembunuh), akan
tetapi juga terhadap oranglain yang tidak melakukan pembunuhan, artinya dengan
melihat sangsi yang diterapkan kepada pelaku (pembunuh) maka akan membuka
kesadaran bagi orang lain untuk tidak melakuakn pembunuhan. Kriteria yang
ditegaskan dalam al-Qur’an dengan istilah “illa bi Alhaq” sebagaiman yang
ditegaskan dalam surat al-An’am ayat 151 memberikan batasan tentangketatnya
persyaratan dalam pemberlakuan hukum qishas, artinya tidak sembarang orang
dapat diperbolehkan melakukan pembunuhan tanpa adanya sebab yang jelas.
C.
Hubungan Islam,
HAM, dan Barat
Manusia
dalam pandangan Islam adalah makhluk mulia yang diberikan potensi keunggulan
dibandingkan makhluk Tuhan lainnya. Perkembangan wacana global tentang HAM
memberikan penilaian tersendiri bagi posisi Islam. HAM perspektif Barat
mengalami kritik tajam dari kalangan Muslim. Diyakini bahwa HAM versi Barat
cenderung emphirical and intellectual minded, sementara HAM dalam
perspektif Islam bersandar pada otoritas transcendental, wahyu Tuhan.
Islam
dan Barat, menurut A.K Brohi, sebenarnya mengupayakan tercapainya pemeliharaan
HAM dan kemerdekaan fundamental individu dalam masyarakat, namun perbedaan
terletak pada pendekatan yang dipergunakan.
Sengitnya
perbincangan dan kontroversi dalam persoalan hubungan Islam dengan HAM
disebabkan oleh beberapa alasan spesifik sebagi berikut.
Pertama,
HAM yang mendapatkan konotasi dan makna konkretnya dalam Deklarasi HAM PBB,
diakui atau tidak, didasarkan pada asumsi pokok yang dibelakangi berdirinya
paham sekulerisme. Karena bias sekularismenya itu, penerimaan gagasan modern
tentu saja menjadi persoalan, terutama bagi yang berkeyakinan bahwa Islamadalah
agama yang kaffah; Islam bukan hanya akidah, melainkan juga syari’ah.
Atau, dalam pernyataan yang lebih politis, Islam bukan hanya agama (din),
melainkan juga negara (daulah). Dengan keyakinan seperti itu, menerima
sekulerisme berarti mereduksi Islam atau menghambat pengamalan Islam secara
menyeluruh.
Kedua,
kontroversi hubungan Islam dan HAM juga terkait dengan perbedaan dan
pertentangan antara HAM dengan syari’ah Islam, atau lebih tepatnya tafsiran
tradisional terhadap syari;ah yang menawarkan sistem peraturan normative yang
komprehensif yang dapat diterapkan secara politis. Ketegangan konkret antara
dua aturan normatif tersebut terutama terdapat di sekitar persoalan kesetaraan
gender dan kebebasan religious. Walaupun mengakui keabsahan personalitas
perempuan, syari’ah tradisional tidak mencakup prinsip kesetaraan hak antara
laki-laki dan perempuan, khususnya dalam persoalan perkawinan, kehidupan
keluarga, perceraian dan pewarisan. Dalam kriteria HAM modern, aturan seperti
itu jelas bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Disamping masalah
kesetaraan gender dan kebebasan religious, hukum criminal syari’ah juga
mengakui beberapa bentuk hukuman jasmaniah semacam cambukan dan amputasi tubuh
yang dari sudut pandang HAM modern adalah hukuman yang kejam dan merendahkan
martabat.
Ketiga,
perdebatan dalam masalah hubungan Islam dan HAM juga tidak lepas dari hubungan
konfliktual dewasa ini antara dunia Islam dan Barat. Sulit dipungkiri bahwa
hubungan antara Islam dan Barat selama ini masih sering diwarnainsikap saling
mencurigai dan memusuhi. Di satu sisi, menyusul berakhirnya Perang Dingin, ada
kecenderungan kuat di Barat untuk melihat dan memposisikan Islam sebagai musuh
dan ancaman baru menggantiakan komunisme yang sudah berhasil diruntuhkan. Di
sisi lain, dunia Islam hingga masih mewarisi luka dan trauma yang sulit dihapus
akibat imperialism dan kolonialisme Barat yang cukup lamamereka derita. Akibat
paling nyata dari luka dan trauma itu adalah kecenderungan dan bangkitnya
perlawanan terhadap Barat.
Dari
ketiga alasan tersebut, kontroversi antara Islam, HAM dan Barat itu, berasal
dari kesalahpahaman salah satu pihak dalam memahami pihak lain. Hal tersebut memunculkan berbagai sudut
pandang tentang hubungan Islam dengan HAM.
Menurut
Supriyanto Abdi, setidaknya terdapat tiga varian pandangan tentang hubungan
Islam dan HAM, baik yang dikemukakan oleh para sarjana Barat atau pemikir
Muslim sendiri, yakni:
1. Menegaskan
bahwa Isalm tidak sesuai dengan gagasan dan konsepsi HAM modern.
2. Menyatakan
bahwa Islam menerima semangat kemanusiaan HAM modern, tetapi pada saat yang
sama, menolak landasan sekulernya dan menggantinya dengan landasan Islami.
3. Menegaskan
bahwa HAM modern adalah khazanah kemanusian universal dan Islam (bisa dan
seharusnya) memberikan landasan normative yang sangat kuat terhadapnya.
Pandangan
pertama berangkat dari rasa esensialisme relativisme kultural. Esensialisme
menunjukkan kepada paham yang menegaskan bahwa suatu gagasan atau konsep pada
dasarnya mengakar atau bersumber pada suatu sistem nilai, tradisi, atau
peradaban tertentu. Sedangkan relativisme kultural adalah paham yang
berkeyakinan bahwa satu gagasan yang lahir atau terkait dengan sistem nilai
tertentu tidak bisa berlaku atau tidak bisa diterapkan dalam masyarakat dengan
sistem nilai yang berbeda. Dikalangan pemikir Barat termasuk di dalamnya Samuel
P. Hungtionton serta Pollis dan Schwab. Menurutnya keduanya, karena secara
historis HAM lahir di Eropa dan Barat, HAM pada dasarnya terkait dan terbatas
pada konsep-konsep kultural.[8]
Pandang
yang kedua lebih dikenal dengan islamisasi HAM. Pandangan ini muncul sebagai
reaksi “gagal”-nya HAM versi Barat dalam mengakomodasikan kepentingan terbesar
masyarakat Muslim. Tidak kalah pentingnya, gerakan ini merupakan alternative
yang diyakini mampu menjembatani pemikiran HAM dalam perspektif Islam. Dalam
perkembangan yang signifikanberhasil dirumuskan piagam deklarasi Universal HAM
dalam perspektif Islam. Di antara pemikir Muslim yang termasuk dalam pandangan
tersebut di antaranya Abul A’la al-Maududi.[9]
Ketiga
menegaskan bahwa HAM modern adalah khazanah kemanusian universal dan Islam
(bisa dan seharusnya) memberikan landasan normative yang sangat kuat
terhadapnya. Berbeda dengan dua pandangan sebelumnya, varian ketiga ini
menegaskan bahwa universilitas HAM sebagai khazanah kemanusiaan yang landasan
normative dan filosofisnya bisa dilacak dan dijumpai dalam berbagai sistem
niali dan tradisi agama, termasuk Islam didalamnya. Yang termasuk berpandangn
demikian di antaranya adalah Abdullah Ahmed an-Naim.[10]
D.
Problematika yang
Muncul
Kontroversi
antara Islam dan Barat masih berlanjut sampai sekarang, sehingga muncul
berbagai masalah antara keduanya. Salah satunya adalah kasus diskriminasi
terhadap kaum minoritas, baik minoritas Islam di negara non-Islam maupun
minoritas non-Islam di negara Islam.
Kaum
minoritas Islam di Perancis merupakan salah satu kasus diskriminasi terhadap
kaum minoritas Islam. Sebagai salah satu contohnya pelarangan menggumakan
jilbab oleh pemerintah Perancis pada tahun 2004 yang hingga kini masih
berlanjut. Selamnjutnya, di Prancis, pemerintah melarang umat Islam mendirikan
Masjid, padahal kaum muslimin
Perancis adalah warga muslim terbanyak di Eropa sekitar 5-6 juta orang namun
tak satupun memiliki wakil di parlemen. Bahkan tak seorangpun muslim Perancis
yang memiliki jabatan di pemerintahan, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat
daerah. Karena itu kebijakan-kebijakan pemerintah cenderung tidak adil bagi
warga muslim di Negara itu.[11]
Kejadian
serupa juga dialami oleh orang-orang Kristen yang hidup di Irak. Sebagai kaum
minoritas, umat Kristen tidak bisa berbuat banyak untuk mencari perlindungan,
keamanan, apalagi menyangkut masalah kepercayaan. Umat Kristen dikejar-kejar
oleh kaum mayoritas. Misalnya, terjadipembunuhan besar-besaran di Gereja Our Lady of Salvation di Baghdad pada
Oktober tahun 2012,
dan di Gereja Koptik yang ada di Alexandria pada saat perayaan Tahun Baru.
Dua kejadian di atassemakin
memperbesar perasaan takut di kalangan orang-orang Kristen, bahwa sedang
terjadi penganiayaan modern dengan tujuan mengosongkan tanah Arab dari
orang-orang Kristen. Saat ini, jumlah orang Kristen di negara-negara Timur
Tengah paling hanya tinggal 15 juta dibandingkan orang-orang Muslim yang
berjumlah 300 juta.[12]
Kasus
yang baru-baru ini muncul adalah kasus kekerasan atau diskriminasi terhadap
kaum rohinyia di Myanmar. Tindakan ini dilakukan oleh seorang biksu yang
bernama Ashin Wirathu yang menunjukkan permusuhan terhadap kaum minoritas
Muslim di Myanmar. Biksu Ashin melakuakn pembantaian terhadap kaum muslim di
Myanmar yang merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Hal yang memicu
ketegangan atau penganiayaan adalah ketika pada 28 Mei 2012 tiga orang pria
Muslim membunuh dan memperkosa seorang wanita Budha. Peristiwa itu yang juga
mengakibatkan kerusuhan di negara bagian Rakhine. Menyebabkan pasukan keamanan
membumihanguskan rumah sekitar 75.000 Muslim Rohingya, dan menangkap sejumlah
besar Rohingya Muslim laki-laki. Jika yang melakukan kekerasan hanya tiga orang
muslim, kenapa yang menjadi korban seluruh umat muslim rohinya?
Hubungan
antara sesama warga negara, yang Muslim dan yang non-Muslim, sepenuhnya
ditegakkan atas asas-asas toleransi, keadilan, kebajikan, dan kasih sayang.
Namun, sampai sekarang asas-asas ini masih dalam dambaan dan harapan semua
masyarakat modern untuk mewujudkannya. Di tengah hiruk pikuk perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta peradaban manusia, asas-asas ini terus
diupayakan, demi menjaga keseimbangan dalam kehidupan umat manusia.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
HAM
atau Hak Asasi Manusia adalah sebuah anugerah yang diinginkan oleh setiap
individu. Konsep tentang HAM seharusnya tidak dipermasalahkan lagi, namun yang
seharusnya dipermasalahkan adalah realisasi dari HAM itu sendiri. Di berbagai
belahan dunia yang menjadi pelopor HAM, masih terjadi banyak
pelangaran-pelangaran yang tidak sedikit. Salah satunya adalah kekerasan
terhadap kaum minoritas, baik minoritas muslim maupun non-muslim. Hal ini
dikarenakan masalah di masa lalu yang masih membekas di masing-masing pihak.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran tentang HAM belum terwujud. Mereka
masih mementingkan golongan atau kelompoknya sendiri. Akibatnya tujuan dari HAM
itu sebdiri belum terlaksana.
Oleh
karena itu, perlu adanya pelurusan dalam memahami Hak Asasi Manusia atau HAM,
sehingga tujuan dari HAM untuk melindungi hak-hak individu dapat tercapai.
DAFTAR
PUSTAKA
El-Muhtaj,
Majda. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sanpai
dengan Amandemen UUD 1945 tahun 2002. Jakarta: Kencana. 2009.
Majid,
Nurchalis. Islam Agama Kemanusian Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesi. Jakarta: Paradina. 1995.
Ulinnuha,
Roma. Kewarganegaraan: Kompilasi Referensi. Yogyakarta : Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga. 2014.
[1]
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945
sanpai dengan Amandemen UUD 1945 tahun 2002, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.
51
[2]
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam, hlm. 53
[3]
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam, hlm. 55.
[4]
Roma Ulinnuha, Kewarganegaraan : Kompilasi Referensi, (Yogyakarta :
2014), hlm. 144.
[5] Nurcholis Majid, Islam
Agama Kemanusian Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta:
Paradina, 1995), hlm. 208.
[6] Roma Ulinnuha, Kewarganegaraan
: Kompilasi Referensi, hlm. 146.
[7]
Amir Mu’allim, Kompatibilitas Agama(Islam) dengan HAM, Jurnal. Hlm. 4.
[8]
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam, hlm. 57.
[9]
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam, hlm. 59.
[10]
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam, hlm. 60.
[11] http://politik.kompasiana.com/2012/03/16/minoritas-cenderung-dijadikan-warga-kelas-dua-446910.html
[12] http://politik.kompasiana.com/2012/03/16/minoritas-cenderung-dijadikan-warga-kelas-dua-446910.html,
diakses pada tgl 20 Mei 2015.